Variabel 1: Oknum
Variabel 2: Perempuan
Variabel 3: Bayi
Dalam kasus pemerkosaan, yang menjadi pertanyaan urgent adalah siapa yang bersalah?
Jika pemerkosaan itu murni, maka yang salah adalah si oknum. Namun, jika berawal dari perempuan tersebut yang bersolek dan berjalan dengan bohainya di depan oknum hingga memancing gairahnya, siapa kah yang bersalah? Apakah itu masih disebut diperkosa? Atau yang terakhir salah si bayi? Pertanyaan yang terakhir ini sungguh menyedihkan. Yah, hingga detik ini menurut saya bukan salah bayi yang lahir, tetapi salah ibu yang mengandung dan bapak yang berbuat. Dan tentu ada pemerintah yang berkutat.
Jika solusi dari peristiwa perkosaan adalah aborsi tentu akan ada banyak bayi-bayi yang akan menjadi darah-darah kembali. Coba bayangkan jika yang, menjadi solusi adalah kewajiban menutup aurot dan peningkatan pendidikan agama serta penciptaan kondisi yang lebih signifikan agar para perempuan mampu termuliakan. Tentu tak akan ada bayi-bayi yang dihancurkan dan tak ada rasa sakit oleh perempuan. Di samping itu pembatasan persebaran film-film porno yang mampu memancing hasrat, mungkin dapat menciptaan culture yang lebih sempurna. Ayolah, kapan Indonesia maju.. Cobalah berisolusi dari akarnya.
Selanjutnya untuk mereka yang benar-benar menjadi korban perkosaan meski telah menutup aurat. Apa kalian tega menghancurkan bakal-bakal generasi yang bisa jadi bayi hasil perkosaan itulah yang akan menjadi pemimpin pemberantas oknum yang tak bertanggung jawab? mengapa bukan si oknum yang dijera hingga mati? Bayi dan oknum.. Selain jasad bayi juga memiliki rasa hanya dia belum belajar apa itu budaya dan bahasa sehingga mereka belum mengetahui bagaimana cara mengekspresikan sakita hati dan jasadnya. Oknum dia juga memiliki jasad dan rasa, yang membedakan dengan bayi adalah kesalahannya. Sementara bayi, dia tidak bersalah. Oooooooooo, knp aku begitu tendensi pada bayi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar