Kamis, 13 Maret 2014

Latihan 1#




Tepatnya sore kemarin, aku melintasi kota mu.. Ya, Kutoharjo tetangganya Ngayogyakarto.. #Mekso Di tengah perjalanan, aku mencoba membuka lensa mata ku lebar-lebar dan menyorot ke sekeliling.. Hemm.. Kondisi Kutoharjo memang tenang, sejauh mata memandang penuh sawah dan kebun.. Sedikit kendaraan bermotor dan sekiranya penduduknya pun tak begitu padat.

Satu hal yang menarik perhatian ku adalah design rumah di Kutoharjo. Mengapa? Yuph, karena tanah yang dimiliki cukup luas, namun rumah-rumah yang didirikan selalu kurang dari setengah tanah yang dimiliki. Dan posisi rumah yang dibangun selalu berada di belakang tanah jadi tembok belakang rumah itu adalah batas tanah yang paling belakang. Hal ini yang membuat rumah-rumah di Kutoharjo selalu memiliki halaman yang luas. Salah satunya rumah Si Mbok. Halaman yang cukup luas dominan hanya di plester atau di konblok. Tapi khusus rumah si Mbok, sebagian halamannya dijadikan kebun. Di kebun si Mbok ada banyak pohon kelapa dan rambutan. Bahkan kata kamu, si Mbok dulu juga berjualan bunga. Nampak, sudah bakat pengusaha mu titisan dari si Mbok. Wkwkwk..

Entahlah, apa filosofi dari cara pembangunan ruang tersebut. Sebagai semiolog, saya mencoba meraba-raba.. Mungkin, makna yang ingin disampaikan adalah "Hemat". Mengapa "Hemat"? karena pembangunan ruang tersebut tak terlepas dari makna konsumtif. Ruang yang dibangun tersebut, dalam artian rumah setelah terkonstruksi akan dihuni dan nilainya pun akan susut seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karenanya masyarakat Kutoharjo membangun rumah tidak lebih dari setengah tanah yang dimiliki agar sisa tanah lainnya dapat digunakan untuk hal yang lain. Mungkin untuk parkir motor. Jika tanah masih tersisa luas karena hanya memiliki motor sedikit, ya, sisa tanah tersebut untuk memotivasi agar memiliki motor lebih banyak lagi. Atau seperti si Mbok yang justru menambah income melalui sisa tanah dengan memiliki kebun kelapa yang bisa diambil airnya untuk gula aren dan kebun rambutan yang bisa dijual buahnya, dan tanaman hias untuk dijual.

Dari sini, Saya yakin kalau kamu juga bisa hemat karena keluarga mu telah mengajarkan hemat melalui filosofi rumahnya.. "HEMAT BROOO"

Kamis, 06 Maret 2014

Sedikit Penghargaan


Hhehe.. Ngga tahan lihat konyolnya pengusaha.. Lelah? IYA, Rugi? PERNAH, Takut? SERING,..
Yang pasti doa ku malam ini, "Semoga Sasono Arisandi memberi yang terbaik dari hidupnya dengan menjadi pengusaha tersukses di dunia dan akhirat. Mampu mensejahterakan seluruh makhluk Allah SWT." "Aamiin"

#Doa_Perawan_Hampa

Selasa, 04 Maret 2014

Hahaha


Habis Hitam Terbitlah Putih
Terkisah seorang perjaka, yang sedang mencari cinta. Dia berkelana ke sana-ke mari, mendaki gunung, lewat di lembah, mengarungi samudra, terbang ke angkasa. Walaupun segala upaya telah dilakukannya. Cinta yang dia cari tak kunjung ditemukan. Cinta yang bukan sembarang cinta. Cinta yang tak pernah didapatkan seseorang pun di muka bumi. Cinta yang kekal dan tak berujung.
Sang perjaka ini menyebut dirinya, Jaka. Perjaka dengan perawakan tinggi, kurus, dengan kulit hitam langsat. Karakternya yang keras kepala menjerumuskan dirinya pada kehampaan tanpa teman. Dia mencari cintanya sendiri, tanpa dukungan dari semua teman-temannya, hanya kedua orang tuanya lah yang setiap hari menyelipkan segenap harapan di setiap panjatan doa-doa. Dengan bekal doa kedua orang tua itu lah, Jaka terus melanjutkan perjalannan mencari cintanya, meskipun halangan dan rintangan menghadang.
Sampailah Jaka pada sebuah desa yang terkenal dengan kesejahteraan rakyatnya. Jaka berusaha mencari cintanya di desa ini dengan menjadi cendekiawan. Jaka mengambil profesi sebagai guru di desa ini. Di tengah kesibukannya menjadi seorang guru, Jaka bertemu dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya. Jaka pun terkesimak dengan kecantikkannya. Jaka berusaha untuk menjalin hubungan dengan perempuan tersebut. Beruntung sekali, perempuan itu pun dengan senang hati menjalin hubungan baik dengan Jaka. Didapatkanlah nama dari perempuan itu, yakni Asiska. Hari berikutnya, Jaka semakin nyaman dengan Asiska. Begitu pula dengan si Asiska.
Hubungan yang semakin dekat mendorong Jaka untuk ke jenjang hubungan yang lebih serius. Jaka bertekad untuk berkunjung ke rumah Asiska untuk menyampaikan maksudnya selama ini, yakni menjadikan Asiska sebagai pendamping hidup yang telah lama ia cari-cari. Sesampainya di rumah Asiska, Sandi menemukan sosok yang telah ia kenal dekat, namun bukan sebagai teman karibnya, melainkan sebagai musuhnya. Ya, dia bertemu dengan rekan kerjanya yang selalu menjadi oposisi ketika rapat. Malangnya, usul-usul dari Jaka selalu terpatahkan oleh usul pemuda tersebut. Hal ini dikarenakan, audience yang menghadiri rapat tersebut mayoritas adalah penggemar musuh Jaka. Sehingga, ide yang diterima dalam forum tentu saja ide dari musuh Jaka. Lalu, setelah beberapa detik menahan emosi dan menenangkan diri, Jaka pun menanyakan keterangan dari musuhnya itu, “Sedang apa kau di sini?”
Musuh Jaka pun membalas, “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?”
“Aku ingin mengunjungi Asiska..” jawab Jaka dengan tegas.
“Ada maksud apa kau mengunjungi adik ku?” tanya musuh Jaka lagi.
Jaka sangat terkejut dengan jawaban dari musuhnya. Ya, musuh Jaka yang termasuk kategori orang paling ganteng di kantornya, tak disangka dia adalah Kakak Asiska, gadis cantik yang Jaka ingin nikahi. Musuhnya adalah calon kakak ipar Jaka. Sedangkan Jaka hanyalah pria dekil, kurus, dan hitam yang tak sepadan dengan musuhnya yang jauh lebih putih, bersih, dan terpelihara. Jaka pun melenyapkan semua imaginasinya. “Cukup sudah, ini mustahil.” Kata Jaka dalam hati.
Esok harinya, Jaka memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi guru dan berencana untuk pergi dari desa yang terkenal dengan kesejahteraannya ini. Rasa kecewa yang mendalam menyelimuti hari-hari Jaka. Ini kesekian kalinya Jaka mendapat kendala dalam mencari cinta. Jaka pun mencoba mengumpulkan semangat-semangat yang tersisa. Dia tidak ingin menyerah. Dia membangun keyakinannya kembali, bahwa suatu saat dia pasti akan menemukan pendamping hidup yang benar-benar baik untuk dirinya.
Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti petang, Jaka lelah melanjutkan perjalanannya, dia memutuskan untuk istirahat di temapt peribadatan. Di sana, Jaka berdoa agar segera menmukan cinta sejatinya. Ini pertama kalinya Jaka beribadah dengan sungguh-sungguh berdoa pun juga dengan sungguh-sungguh. Hingga tanpa sadar dia tertidur lelap. Pagi harinya, Jaka dibangunkan oleh petugas pengelola tempat peribadatan. Jaka sempat berbincang-bincang dengan petugas pengelola tempat peribadatan tersebut. Jaka menceritakan perjalanan pencarian cintanya. Si petugas pengelola tempat peribadatan pun mengenalkan Jaka pada seorang gadis manis yang sering beribadah di tempat peribadatan tersebut, nama gadis itu Yasa. Yasa sangat dewasa, sikapnya yang keibu-ibuan membuat Jaka nyaman bersama Yasa. Namun, kali ini Jaka tak ingin terburu-buru mengutarakan maksudnya pada Yasa. Jaka ingin mencari waktu yang benar-benar tepat.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa Jaka telah menjalin hubungan dengan Yasa selama satu tahun. Saat inilah, waktu yang tepat menurut Jaka untuk mengutarakan maksudnya kepada Yasa. Saat Jaka menghampiri Yasa untuk mengutarakan maksudnya, saat itu pula Yasa memberi sebuah kertas dengan rangkaian bunga dipinggirnya. Yasa memberikan undangan pernikahannya terlebiha dahulu sebelum Jaka mengutarakan maksud yang selama ini dia simpan. Sekali lagi, hati Jaka hancur berkeping-keping. Jaka ingin berlari sekencang-kencangnya menjauh dari Yasa.
Di tengah pelariannya, Jaka mencoba mengintrospeksi diri, kesalahan-kesalahan apakah yang telah dia lakukan. Hingga cintanya selalu kandas di tengah jalan. Di akhir perenungannya, Jaka menyimpulkan bahwa dia perlu lebih agresif lagi untuk mendapatkan cintanya. Jaka mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang sempat hancur. Dia mengobati hatinya yang terlampau sering dikecewakan. Agar tetap terus memperjuangkan cintanya.
Kini, hati Jaka mencoba berlabuh di rumah makan. Di sana, dia bertemu dengan perempuan pengusaha muda, cantik, dan pandai. Di pandangan pertama, Jaka telah jatuh hati pada perempuan itu, begitu pula perempuan muda itu. Mereka mengawali perkenalannya dengan menyebutkan nama masing-masing, “Jaka” kata Jaka dengan melemparkan senyum termanisnya. “Arma” jawab perempuan pengsaha itu dengan hati berbunga-bunga. Untuk kali ini, Jaka yang bermaksud ingin lebih agresif justru merasa tidak perlu seagresif yang dia pikirkan. Karena Arama telah jauh lebih agresif mendekatkan dirinya pada Jaka. Sering kali Arma menanyakan soal prospek usahanya kepada Jaka, mengingat Jaka yang berlatar belakang pendidikan ekonomi. Sering pula Arma menceritakan privatisasinya kepada Jaka. Jaka pun dengan senang hati mendengarkan. Hubungan mereka semakin dekat, dan Jaka pun sangat yakin kali ini dia akan berhasil mendapatkan cintanya. Karena Arma adalah gadis yang baik, pandai, manis, serta menghargai dan menghormati Jaka.
Tibalah saat Jaka mengutarakan maksudnya. “Bagaimana menurut mu?” tanya Jaka pada Arma.
“Iya, kita tingga menunggu waktu. Ngga mungkin juga kan kalau kita menikah tanpa uang.” tutur Arma dengan lembut.
Jaka dengan latar belakang yang keras kepala, justru menilai Arma kapitalis, liberalis, dan tidak sesuai dengan Jaka. Jaka pun meninggalkan Arma sejauh-jauhnya. Dan Jaka pun tetap berkeyakinan akan adanya habis hitam, terbitlah putih. Walaupun itu satu di antara sejuata yang ada.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas Gadjah Mada, 081227144577)



Putri Salju di Negeri Kelam
Sayup-sayup senandung putri salju terdengar sampai di kedalaman sumur. Mendengar suara itu, barisan semut serempak keluar dari lorong sumur untuk bersenandung bersama Putri Salju. “Lalalala.. Lalala.. Lalala..” Ou, ternyata binatang-binatang lain pun juga menyemarakkan acara. Burung gereja, rusa, dan katak pun tak ingin ketinggalan dalam irama. Bahkan kurcaci pun ikut di sana.
Beginilah rutinitas Putri Salju di pagi hari, bersenandung dengan teman-teman binatangnya. Putri salju tidak hanya bersenandung huru-hara, tetapi dia juga menyambinya dengan menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberi oleh ibu tirinya. Rasa jenuh yang menghampiri Putri Salju ketika menyelesaikan tugas akan segera lenyap ketika teman-teman binatangnya datang dan warna-warni bunga telah bermekaran di taman. Hanya inilah yang dapat menghibur Putri Salju di istana, Mewarnai hari-hari yang penuh siksa dari ibu tiri.
Kadang, seusai mengerjakan tugas rumah, Putri Salju bermain bersama putri-putri lainnya. Putri Tidur, Putri Duyung, Putri Jelita, dan putri-putri bangsawan lainnya. Tak jarang Putri Salju mendapat teguran dari ibu tiri ketika tertangkap basah sedang bermain dengan putri-putri bangsawan. Ibu tiri selalu mengebiri Putri Salju agar ia tidak menuntut lebih dari yang diberi oleh ibu tiri, termasuk melarang Putri Salju untuk bermain dengan putri bangsawan. Ibu tiri khawatir, jikalau Putri Salju bermain dengan putri bangsawan, maka Putri Salju dapat menambah wawasan dan mampu memberontak pada ibu tiri. Kekayaan dari raja sebagai ayah kandung Putri Salju dikuasai oleh ibu tiri, tak sedikit pun harta yang dimiliki oleh Putri Salju. Hanya kumpulan buku bekas milik raja yang dimiliki Putri Salju. Buku-buku inilah yang menemani Putri Salju ketika dikurung oleh ibu tiri di gudang. Banyak buku-buku raja yang mengisahkan mengenai kepahlawanan salah satunya Biografi R. A. Kartini. Dari buku ini Putri Salju memahami makna dari potensi seorang perempuan untuk belajar dan mencapai kesuksesan.
Hari-hari dirasakan semakin berat, Putri Salju yang begitu penyabar pun merasakan dirinya sudah tak kuat lagi menahan beban. Sebenarnya Putri Salju sangat mencintai ibu tirinya. Dia tidak mau meninggalkan ibu tirinya karena takut membuatnya sedih. Namun, Putri Salju juga manusia biasa yang membutuhkan kebahagiaan. Dia membutuhkan sebuah tempat yang berisi orang-orang yang menyayangi dia.
Putri Salju pun membulatkan tekad untuk pergi dari rumah. Meski pada saat itu dia belum mempunyai harapan yang pasti tentang akan adanya tempat yang penuh kebahagiaan itu. Semua serba tersembunyi seperti hutan yang akan dia masuki. Tidak begitu sulit bagi Putri Salju untuk lepas dari pengawasan ibu tirinya dan lari ke hutan. Semua dilakukan Putri Salju dengan secepat kilat walau tanpa persiapan yang panjang. Hanya gaun lusuh dan sepatu kayunya yang menemaninya menerobos hutan antah berantah itu.
Hutan yang dia masuki sebenarnya sangat popular di kalangan manusia pada waktu itu sebagai hutan yang sangat kejam. Namun, Putri Salju saat itu yakin pasti lebih kejam ibu tirinya daripada hutan itu.
Putri Salju memasuki hutan itu dengan hati yang riang. Dia senang bisa melewati pengawasan ibu tirinya. Bayangan hidup penuh kebahagiaan ada di depan mata. Terlintas dalam benaknya tentang seorang putri yang kabur dari rumahnya lalu menikah dengan pangeran dan mereka pun hidup bahagia selamanya.
Tak perlu waktu lama bagi Putri Salju untuk mendapatkan keluarga yang baru di hutan itu. Hewan-hewan yang senantiasa bersenandung bersamanya di tiap pagi kini dapat terus menemaninya. Hewan-hewan itu pun bahagia karena dapat mencari makanan, bermain, dan hidup sepanjang hari bersama Putri Salju di hutan.
Di hari yang cerah, Putri Salju merasa sedih karena seekor tupai yang dia sayangi mengalami sakit yang amat parah. Seharian penuh dia keliling hutan untuk mencari obatnya. Walau Putri Salju belum tahu si tupai itu sakit apa. Di tengah kepanikannya, datang seorang nenek menanyakan mengapa Putri Salju terlihat sedih. Putri Salju menceritakan bahwa seekor tupainya sedang sakit dan butuh obat. Si nenek pun memberi sebuah apel yang telah diberi mantera. Nenek itu menyuruh Putri Salju kepada si tupai agar bisa sembuh.
Putri Salju sangat senang dan segera ke tempat si tupai. Namun, karena perjalanannya cukup jauh, Putri Salju merasa lapar. Ketika dia melihat apel itu, terlihat sangat menarik mata. Putri Salju pun tergoda untuk memakan apel itu. Sangat ajaib, Putri Salju seketika pingsan ketika memakan apel itu.
Ternyata apel itu bukanlah apel biasa. Apel itu memang jauh lebih menarik mata dari apel pada umumnya. Namun, apel itu hanya akan membawa manfaat pada orang yang meminta izin dari pemiliknya dahulu dan membawa petaka bagi orang yang memakannya tanpa izin.
Para kurcaci yang menemani Putri Salju panik seketika. Mereka sangat sedih melihat Putri Salju tak sadarkan diri. Mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan melainkan hanya menangis. Hingga pada suatu saat datanglah seorang Pangeran ke tempat Putri Salju. Pangeran itu bernama Pangeran Abu Vulkanik. Orang-orang pun bingung mengapa dia memiliki nama seperti itu. Padahal pangeran itu sangat tampan, dan berasal dari keluarga yang bangsawan.
Pangeran itu datang ke hutan karena mendapat rumor bahwa putri yang terkenal paling cantik itu sedang melarikan diri ke hutan. Pangeran itu pun tergerak untuk mencari Putri Salju. Dan benarlah rumor itu, Pangeran kini telah menemukan Putri Salju. Pangeran dengan halus memohon izin kepada kurcaci untuk bisa membawa Putri Salju ke rumahnya. Kurcaci itu pun percaya akan cerita tentang seorang putri yang pingsan lalu dicium oleh pangeran dan ketika sadar mereka bahagia hidup selamanya.
Pangeran itu pun membawa Putri Salju ke istananya dengan kudanya. Sesampainya di istana, Pangeran merebahkan Putri Salju. Lalu Pangeran pun melepas sepatunya dan mendekatkannya ke hidung Putri Salju. Putri Salju seketika sadar dan terbatuk-batuk. Ketika dia melihat ada Pangeran di hadapannya, senyumnya terkembang lebar. Dalam benaknya, dia mengira bahwa Pangeran itu menciumnya dan mereka akan hidup bahagia selamanya. Namun, bayangan itu seketika sirna ketika Pangeran langsung menyuruh Putri Salju membersihkan sepatu Pangeran yang penuh lumpur itu. Tak hanya itu, Pangeran sering sekali memerintah Putri Salju dari pagi hingga malam menyingsing hari. Perilaku-perilaku kasar pun kerap Putri Salju dapatkan. Harapan tentang hidup bahagia selamanya itu pun terkikis. Arti dari nama “Pangeran Abu Vulkanik” kini pun dapat dimengerti oleh Putri Salju. Sifatnya sama dengan namanya, kejam dan menyesakkan. Sama seperti Abu Vulkanik.
Putri Salju pun merasa serba salah. Ingin sekali dia tetap memelihara mimpi-mimpi akan hidup penuh kebahagiaan. Namun kenyataan justru menjadikannya hidup dari penderitaan yang satu ke penderitaan yang lainnya. Dia pun sebenarnya akan bunuh diri jika dia tidak ingat akan cerita dari ayahnya mengenai Pemuda Ashabul Kahfi. Ya, cerita itu bukan cerita dongeng. Melainkan cerita nyata dari kitab suci. Cerita tentang pemuda yang hidup di zaman penuh dengan penderitaan namun ditidurkan oleh Tuhan hingga tiga ratus tahun. Ketika mereka terbangun pun mereka berada pada zaman pemerintahan raja yang adil dan baik hati. Putri Salju yakin, sehabis penderitaan pasti akan ada kebahagiaan. Putri Salju pun menguatkan dirinya, terus menjalani harinya sambil terus berdoa kepada Tuhannya agar memberikan kepadanya kebahagiaan. Entah itu kebahagiaan di dunia ataupun akherat. End.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas Gadjah Mada, 081227144577)


Amon dan Amin
Hai, perkenalkan ini adalah Amin. Dia adalah tukang topeng monyet yang sering kalian temukan di perempatan jalan. Dia hanya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama, hal ini karena Amin telah yatim-piatu ketika dia berusia 12 tahun. Namun, Amin memutuskan untuk tidak tinggal di sebuah panti seperti anak yatim-piatu pada umumnya karena dia ingin berpetualang dan selalu ingin tertantang. Dia memiliki sahabat setia bernama Amon, monyet yang lincah dan selalu menghibur hati yang sedang gundah gulana. Amin dan Amon memiliki karakter yang sama, mereka pekerja keras, rajin, ulet, kritis, dan kreatif. Hanya saja pilihan hidup mereka untuk selalu menikmati apa yang ada dan berusaha untuk hidup sederhanalah yang membuat mereka berada kekal di kelas ekonomi menengah ke bawah.
Pagi ini Amin dan Amon menjalankan rutinitasnya sebagai tukang topeng monyet. Setelah usai beribadah, membersihkan diri, Amin hendak membeli sarapan pagi untuk dirinya dan si Amon. Namun, Amon menarik celana Amin, pertanda Amon tidak sepakat dengan Amin. Amin pun mengurungkan kehendaknya. Lalu Amin merogoh saku celana mengambil dompet lusuh, keabu-abuan dan sedikit bau, “Kau monyet pintar Mon, lupa aku untuk memeriksa dompet ku, isi dompet ku hanya tumpukan kertas nota utang yang harus segera kita bayar.. Baiklah, hari ini kita puasa lagi ya Mon..” tutur Amin kepada Amon setelah melihat dompetnya. Amon pun melompat-lompat bersemangat mengajak Amin keluar rumah dan segera mencari nafkah. Amin mengambil gerak cepat mempersiapkan peralatan topeng monyetnya.
Hangatnya mentari menambah semangat Amin dan Amon mempertunjukan atraksinya. Di sebuah perempatan lampu merah, Amon  dan Amin mempersiapkan aksinya. Setelah gendang ditabuh oleh Amin, Amon seperti kesetanan, berlompat-lompat sangat lincah, ke sana-ke mari penuh energik diiringi suara gendang yang semakin keras dan cepat dalam ketukan temponya. Di awali dengan payung kecil dan tas kecil, Amon memerankan sebagai seorang Ibu-Ibu yang sedang belanja di pasar. Entahlah, sepertinya Amon ingin menyindir Ibu-Ibu yang sedang bermake-up di dalam mobil hingga wajahnya putih bersih, yang kemungkinan besar Ibu-Ibu itu enggan berbelanja dan berpanas-panas ria masuk ke dalam pasar. Tidak seperti Amon, monyet hitam yang hidupnya pun berhimpitan dengn pasar yang panas, padat, dan penat. Berikutnya Amon mengambil sebuah becak mini di samping gendang. Kali ini, Amon ingin menyindir pemilik mobil mewah penyumbang sebagian besar polusi udara di kota. Amon berpikir, andai saja orang-orang kota tetap menggunakan becak sebagai alat transportasinya. Udara di kota pasti tak akan sehitam ini, penuh asap kendaraan. Jika orang-orang kota menggunakan becak untuk kegiatan keseharian, di samping udara di kota akan bersih, putih, dan asri. Alat transportasi becak pun tak akan punah. Bukankah sebuah alat transportasi merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang sebaiknya dilestarikan. “Tapi orang kota ini, lebih mengutamakan efektifitas waktu sepertinya”, Amon mengira-ngira. Si Amin pun menabuh gendangnya lebih keras, sengaja untuk menyadarkan Amon agar tak terlalu lama memainkan becak mininya. Amin pun melempar topeng pada Amon. Amon dengan sekejap menangkap topeng tersebut dan memakainya di pangkal ekornya. Amin terkejut dan memukul gendang keras-keras, agar si Amon memindah posisi topeng ke muka. Amon terkekeh-kekeh melihat ekspresi sahabatnya yang berhasil dia kejutkan. “Dasar monyet usil pencipta gelak tawa”, celetuk Amin pada Amon.
Amon memainkan topeng diselingi tarian-tarian abstrak. Tarian Amon menarik perhatian para pengemudi. Mereka berusaha memaknai gerak-gerik Amon. Amon semakin menjiwai topeng dan tariannya. Amin pun meneriaki Amon, “Mon, tariannya jangan terlalu abstrak, diperjelas lagi.. Hahaha..” Amin sedikit geli melihat tarian Amon yang semakin lambat, abstrak, dan tak jelas seperti pantomim. Amon memperjelas gerakan tariannya. Dia bermaksud menggambarkan sosok koruptor yang bermuka dua. Ketika pesta pemilu koruptor-koruptor itu menggunakan topeng sebagai kedok tindakan menyimpangnya. Mereka memasang wajah-wajah bersih, rapi, dan putih mereka pada sebuah reklame dan spanduk-spanduk di seluruh sudut kota. Namun, siapa sangka di balik wajah mereka, ada sikap yang tidak sesuai dengan nilai dan norma. Mereka memakan hak masyarakat, termasuk hak Amon dan Amin. Mereka menuntut hak, tapi tak menjalankan kewajiban. Mereka membanggakan kekayaan, tetapi tak dapat dibanggakan masyarakat. Begitulah hitam di balik putihnya para koruptor.
Usai beratraksi, Amin menggendong Amon dan berkeliling mengumpulkan uang dari pengendara motor yang mungkin terhibur oleh Amon dan Amin. Dimulai dari pengendara sepeda motor yang berhenti paling depan dekat zebra cross. Seribu rupiah disodorkan oleh si pengemudi. Selanjutnya menuju ke mobil mewah, mobil yang dimiliki ibu-ibu bermake up tadi. Ibu-ibu itu hanya mengusir Amon dan Amin. Berikutnya Amon dan Amin menuju Mobil Toyota berwarna hitam, seterusnya Amon dan Amin meneruskan mengumpulkan uang dari pengemudi kendaraan, hingga lampu lalu lintas berganti hijau, motor-motor dan mobil menancap gas, berebut jalan. Amon dan Amin merasa lega di antara kepenatan motor dan mobil yang berebut jalan.
Amon dan Amin segera menghitung pendapatannya dalam sekali bermain. Terkumpulah uang sebanyak Rp 7500,- “Mon hari ini sepertinya keberuntungan berpihak pada kita. Kita akan dapat melunasi semua utang kita, jika sekali bermain kita mendapat Rp 7.500,- ”
Beginilah pekerjaan Amon dan amin di setiap harinya. Dalam sehari mereka biasa mendapat Rp 30.000,- hingga Rp 50.000,- dan setiap hari mereka beratraksi kurang lebih 25 kali, dari pagi hingga sore. Sore hingga malam hari mereka habiskan untuk berkumpul dengan teman-teman gelandangannya. Seperti sore ini, Amon dan Amin berkumpul bersama teman-teman gelandangannya di warung pinggir jalan dekat perguruan tinggi UNY. Mereka menghabiskan waktu untuk sekedar bercanda, berbagi, atau mengkritisi isu yang sedang hangat diperbincangkan. Tapi sore ini ada yang berbeda dengan sore-sore sebelumnya. Tak biasa ada seorang mahasiswa di warung tersebut. Tampak pakaiannya yang necis, kulitnya yang putih, dan bau harum di tubuhnya menambah nilai positif akan status civitas akademika.
“Bang, es teh dua..” kata mahasiswa itu. “Mon, mahasiswanya rakus ternyata..” bisik Amin pada Amon. Amon hanya garuk-garuk kepala. Lalu Amon mendekati mahasiswa tersebut, menaiki pundaknya dan memainkan rambut mahasiswa tersebut. Ini adalah salah satu modus Amon untuk pendekatan pada seseorang. Mahasiswa itu justru membalas memainkan ekor Amon. Amon menjadi penasaran, dari sinilah mereka semakin akrab dan nyaman. Amin menyimpan rasa cemburu dalam-dalam. Melihat Amon yang kompak dan sangat serasi dengan mahasiswa tersebut. “Hohoho.. monyet ini lucu sekali. Siapakah gerangan pemilik mu Nyet?” celetuk mahasiswa tersebut. Sontak, Amin mengambil seribu langkah untuk merenggut Amon dari mahasiswa tersebut. “Dia milik ku, namanya Amon, monyet yang pintar seperti majikannya” “Oh, hai, senang berkenalan dengan monyet mu, aku Marco, kalau boleh tahu, siapa nama mu?”, sambut mahasiswa itu. “Nama ku Amin, senang juga berkenalan dengan mu.” jawab Amin. “Aku mahasiswa semester 7.. Ini pertama kalinya aku makan di warung pinggir jalan. Sengaja sih, buat nambah referensi rumah makan.” kata Marco. “Oh gitu, tenang kamu tidak salah tempat, warung ini menyediakan makanan halal, nikmat, dan murah. Warung ini termasuk dalam daftar warung langganan ku..” timpal Amin pada Marco. “Benar kah? Senang mendengarnya, karena ada tujuan lain juga aku mencoba makan di warung pinggir jalan. Aku bermaksud membuat sebuah rumah makan yang murah tapi juga berkualitas.” papar Marco. “Ouh gitu.. Bagus itu..” balas Amin dengan sedikit dengki. “Kau sendiri sedang apa di sini?” tanya Marco pada Amin. “Aku? Apa lagi kalau tidak untuk makan.. Ngga mungkin kan kalau aku ke warung untuk mencari inspirasi skripsi ku. Aku bukan mahasiswa, Marco.. Aku hanya tukang topeng monyet.. Ya, makan diselingi bergurau dengan teman-teman ku ini.. Tapi sekarang aku sedang menanti adzan untuk berbuka” jawab Amin sesekali melihat jam di dinding. “Lho, jadi kamu tukang topeng monyet?” Marco mencoba menegaskan. “Iya, aku menjadi tukang topeng monyet dibantu oleh Amon. Monyet yang lincah, lucu, dan setia ini” tutur Amin. “Ehmm.. kalau begitu aku ingin menawarkan pekerjaan yang mungkin lebih ringan dibanding menjadi tukang topeng monyet.” usul Marco pada Amin. “Memang kau ingin menawarkan pekerjaan apa?” tanya Amin penasaran. “Bagaimana jika kamu menjadi manager pemasaran di rumah makan yang akan aku rintis nanti?” tawar Marco. “Aku yakin itu pekerjaan yang elit dan tidak memerlukan sebuah kerja keras untuk mendapatkan kebutuhan akan materi ku. Tapi, jujur aku sudah merasa tercukupi dengan pekerjaanku yang sekarang. Karena di samping pekerjaanku mampu memenuhi kebutuhan materiku, kebutuhan akan kejiwaanku yang cinta dengan budaya, maksudnya budaya topeng monyet juga dapat tercukupi. Yang mungkin kebutuhkan kejiwaanku ini tidak mampu tercukupi jika aku menjadi manager pemasaran. Dan jangan salah sangka, dengan pekerjaan menjadi topeng monyet ini, jika keberuntungan sedang berpihak kepada ku, penghasilan yang aku dapat bisa melebihi penghasilan pegawai negeri, atau pun penghasilan manager pemasaran. Dan yang terakhir, ketika aku menjadi tukang topeng monyet, berarti secara tidak langsung aku telah berkontribusi menjaga dan melestarikan nilai kebudayaan kita, yang sering kali diklaim oleh negara lain” ulas Amin pada Marco panjang kali lebar. Inilah spirit yang dipegang oleh Amin dan Amon agar tetap menjadi tukang topeng monyet. Ada sisi putih di balik hitamnya topeng monyet.
Hitam dan putih sering terpisah oleh jurang yang sangat dalam. Mereka terbedakan oleh kadar yang luas terbentang. Tapi tak jarang pula, hitam dan putih beriringan saling melengkapi satu dengan yang lain, sebagai tanda Tuhan Maha Adil. Dan pada titik tertentu kita tidak dapat menghakimi yang hitamlah yang bersalah atau putihlah yang benar. Karena masih ada ruang abu-abu di antaranya. Di ruang abu-abu inilah kita dituntut bersikap bijaksana.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas Gadjah Mada, 081227144577)


Diam Mu yang Mendalam
Sampailah aku pada pulau di antara pulau-pulau lainnya. Ya, di Pulau Saonek Kabupaten Raja Ampat inilah aku akan mengabdi selama dua bulan. Pulau mantan Ibu Kabupaten Raja Ampat ini memiliki kurang lebih berjumlah kepala keluarga 100 orang, dari masing-masing kepala keluarga rata-rata memiliki 3-13 orang anak. Penduduknya yang ramah dan sangat menghormati para tamunya menambah pesona pulau ini untuk dikunjungi para wisatawan. Pulau dengan jutaan kejutan pemandangan setiap harinya, entah sekreatif apa Tuhan dalam melukis, namun tak pernah ku temukan pemandang yang sama di Pulau ini, dan tak pernah bosan ku menatapnya. Pemandangan yang menawan sejauh mata memandang dari ufuk timur hingga barat. Dari angkasa hingga lautan, semua berpadu menjadi satu mengiringi hari-hari yang tak sabar ingin ku pahami. Misteri yang tersurat di gulungan ombak, di sela-sela dedahan yang tertiup angin sepoi-sepoi, di degradasi warna antara hijau muda, hijau tua, biru tosca, biru muda, biru tua, dan putih dalam kesatuan panaroma pantai. Seolah-olah, menghapus semua kenangan terindah yang pernah ku alami. Ini merupakan potongan surga yang Tuhan berikan pada negeri ku Indonesia.
Hari pertama, ku awali dengan kegiatan bersih-bersih markas yang ke depannya menjadi tempat aku bermukim. Muncullah beberapa bocah dengan rambut ikal, kulit coklat lingsat, dan mata bulat. Tatapan tajam mereka yang menyorot ke setiap gerak-gerik ku, mungkin mengisyaratkan sebuah tanya, siapakah gerangan makhluk baru yang hadir di zona kebanggaan mereka. Perlahan tapi pasti  ku dekatkan diri pada mereka dengan senyum 2 senti ke kiri dan 2 senti ke kanan. Uluran tangan sebagai tanda persahabatan ku tawarkan pada mereka satu persatu sambil menanyakan nama dari masing-masing bocah. Mereka pun mengutarakan nama mereka satu per satu. Nadya, Miftah, dan ada juga yang berdiam diri tanda penuh curiga dengan ku. Terus ku rayu dia dan menanyakan namanya dengan bahasa khas daerah, “Kau pu nama siapa?” Dengan lirih dia sebut namanya, “Yunita”.
Tiga hari berlalu, kebutuhan ku untuk menyesuaikan diri cukup terpenuhi.  Namun, tak jarang ada hal yang perlu ku pelajari dari penduduk setempat. Di proses inilah aku selalu mendapat sebuah pelajaran. Suatu waktu menepis lelah, ku sempatkan diri menyusuri pantai bersama Yunita, gadis kelas 5 SD yang pendiam. Sering ku tatap matanya untuk mengulik semua rahasia yang ku yakin ada jutaan jumlahnya. Yunita memiliki kaki yang sedang terluka. Kakinya diperban. Ketika ku tanya sebabnya, dia menjawab, terkena pecahan kaca. Setelah beberapa menit berjalan dan bersenda gurau bersama ombak, Yunita mengenalkan ku pada sebuah kegiatan mengasikkan, yakni mencari bia bres (red,- kerang), tekniknya dengan mengais pasir sedikit demi sedikit, hal ini karena bia bres hidup hanya pada permukaan pasir dan jarang berada di kedalaman pasir. Yunita juga mengutarakan, bahwa bia bres ini dapat dimakan, sontak aku teringat pada masakan yang berasal dari Thailand dan harganya masuk kategori mahal, yakni Tom yum. Yah, dari Yunita ku dapatkan banyak pelajaran diantaranya cara snorkeling, diving, dan yang paling utama adalah survive. Yunita yang berjalan pincang bersama kaki yang diperban memang jarang tertawa, bahkan tersenyum. Tetapi saat ini dia sedang membersamai senyum ku, dengan tawanya yang menggigil. Inilah yang sering aku nantikan dari Yunita dan aku tak pernah puas untuk terus membuatnya tertawa.
Pernah otak ku lancang mengira-ngira, alasan Yunita jarang tersenyum akibat kakinya yang terluka. Namun, kini ketika perbannya telah dilepas, dia tetap sulit untuk tersenyum. Kemudian, otak ku kembali menyangka, sebab Yunita jarang tersenyum karena pengalaman suram di masa lalu. Aku terus menelisik Yunita untuk mendapat jawaban. Di hari berikutnya, aku butuh kelapa tua untuk mendapatkan santan. Setelah mengitari sekeliling permukiman tak kutemukan kelapa tua itu. Dan Yunita yang tadinya menemani ku di dapur menghilang entah kemana. Seketika itu, bulu kuduk ku berdiri. Mungkin angin telah menghempasnya ke sebuah tempat yang tenang. Selagi menanti air panas mendidih, aku kukuh mencari kelapa tua kembali. Kemudian, di titik penghabisan keringat yang mengucur, muncullah Yunita di hadapan ku dengan membawa lima buah kelapa tua. Cukup sudah aku dibuatnya penasaran dengan kejaibannya. Keajaiban yang bisa bermakna peduli sesama, bermakna cerdas, bermakna baik, dan masih banyak makna yang ku yakin terselip dalam jiwa dan raga Yunita. Aku pun mampu dibuatnya tersedu riang dengan responnya yang tak pernah dapat ku sangka-sangka. Ini membuatku semakin tergelitik untuk mengenal si gadis manis ini.
Hari Sabtu tepatnya malam minggu, seusai mengajar di sekolah, Yunita dan pasukannya mengajak ku mendaki Gunung Saonek di belakang sekolah. Hemm.. Sepertinya mengasikkan.. Kami segera bersuka ria menuju Gunung Saonek. Di perjalanan terlukis senyum yang ku nantikan di wajah Yunita, serentak saraf-saraf darah ku mengkonsep pemikiran, ini adalah perjalanan menuju ke surga. Di surga dunia ini, Yunita mengenalkan ku pada buah tombi-tombi, buah berwarna merah berbentuk bulat dengan rasa sangat asam. Yunita mengambilkannya untuk ku dengan memanjat pohon tinggi-tinggi. Gelak tawa teman-teman Yunita lainnya pun menambah riuh-rendah kicauan burung-burung di dahan pohon tombi-tombi yang tak mau kalah tinggi dari Yunita. Di sebelah pohon tombi-tombi ada kuburan Kakek-Nenek desa. Yunita pun mengkisahkan pada ku, bahwa penduduk lokal memiliki ritual melempar uang ke dalam lokasi pemakaman Kakek dan Nenek desa. Ketika ku tanya tujuan dari ritual tersebut, Yunita menjawab dengan polosnya, untuk sodakoh. Perutku sakit menahan segala rasa yang ingin ku ekspresikan, dari rasa kagum, rasa aneh, dan segala rasa lainnya. Baiklah, aku percaya saja pada Yunita, tapi bukan berarti menginternalkan pada diri ku untuk praktek ritual tersebut. Mungkin suatu saat akan ku seleksi dan ku kolaborasi pada nilai dan pemahaman ku.
Sesampai di ketinggian kurang lebih 300 meter di atas permukaan air, kemiringan semakin curam, bisa diperkirakan hampir 85 derajat. Kami harus membungkukan badan agar tidak terjungkir ke bawah. Yunita yang berada di depan ku berteriak sambil mengulurkan dahan pepohonan untuk membantuku agar tidak terjatuh dan memudahkan dalam mendaki gunung, “Kakak pegang ini erat-erat.” Happ.. ku dapatkan dahan pohonnya, dan ku menimpali ucapan terima kasih pada Yunita. Seperti biasa, Yunita sangat peduli dengan sekitarnya, dia pun memperingati untuk berhati-hati ketika ada lumut agar tidak terpeleset. Saat aku berdiri ditepian jurang, Yunita sempat ketakutan dan meneriaki ku, “Kakak jangan berdiri terlalu pinggir!!” aku terkaget tapi bahagia.
Sampai di puncak tertinggi, Yunita menunjukkan seekor elang yang terbang bebas di angkasa yang menyatu pada angin mengintai ikan lengah berenang dipermukaan laut.  Aku pun seketika itu tak dapat berkutik apa pun, hanya mampu terdiam terkesimak menatap sang elang dan haparan laut di depan mata. Benar-benar menakjubkan, seorang gadis kecil pendiam mampu mempertontonkan pada ku seekor binatang langka yang dilindungi dan jarang diketemukan orang. Di puncak ini, Yunita menggambarkan peta Pulau Saonek dengan menunjuk beberapa lokasi, diantaranya dermaga, pasar, kantor distrik, pemukimanku, dan rumah Yunita sendiri. Ada juga makam bawah air, makam ini berada dekat hutan mangrove, setiap harinya selalu tergenangi air dan ada pula ritual masyarakat, yakni melemparkan uang koin ke makam itu agar mendapat perlindungan ketika mincing di lokasi sekitar makam itu, karena di hutan mangrove itu juga ada buaya putih yang siap menerkam orang-orang yang melanggar hukum adat. Terpuaskan lah pikiranku oleh pengetahuan dari gadis manis ini. Selanjutanya kami pulang kembali menyusuri jalan yang telah kami lalui ketika mendaki, angin sejuk menerpa wajah kami membantu menepis peluh.
Mendekati hari terakhir pengabdian, aku dan Yunita berkesempatan bermain ke pulau seberang, Pulau Saonek Munday. Pulau kecil dengan hamparan karang yang bervariasi. Pulau yang tergolong perawan. Pulau yang tak kalah indah dengan Pulau Saonek. Di sini, Yunita mengajak ku untuk snorkeling dan diving. Kami mengawalinya dengan lompat indah dari tepi dermaga. Ups, ternyata ombak begitu besar dan aku sempat tenggelam karena lelah mengayuh kaki ku di dalam air. Seketika itu, Yunita menggenggam erat tangan ku dan membantu ku sampai di permukaan, hingga aku dapat bernafas kembali. Lalu Yunita mendampingi ku menyelami lautan, walau ombak tak jenuh-jenuhnya menghadang Yunita tetap menggenggam erat tangan ku. Ribuan ikan-ikan menyambut kedatangan kami. Terumbu karang pun turut menyapa kami. Ada pun bintang laut yang sedang berjemur di tepian pantai. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan yang patut kami syukuri.
Di perjalanan pulang aku mencoba merajut pemahaman mengenai Yunita, si gadis misterius. Diamnya tak ku sangka penuh makna dan rahasia. Perlu pendekatan yang mendalam untuk mengetahui apa yang ada dibaliknya. Ibarat warna hitam dan putih, Yunita adalah warna hitam, dalam artian warna kulit sebenarnya. Dan warna hitam dalam artian kondisi sosial dan ekonomi yang menurut ku tak mendukung potensinya. Sedang aku warna putih untuk makna warna kulit putih sebenarnya. Dan warna putih untuk kondisi sosial dan ekonomi yang jauh lebih terpenuhi dibanding Yunita. Namun, dalam hitamnya Yunita ada warna putih yang bening terpancar karena sikapnya yang dewasa, bijaksana, dan cemerlang. Bisa jadi, akulah yang berwarna hitam, karena belum mampu menghadapi haling rintang dalam kehidupan. Ku sempatkan untuk bertanya pada Yunita mengenai cita-citanya. Yunita tersenyum malu. Ku persempit pertanyaan, “Mau jadi tour guide kah?” Yunita hanya menatapku. Ku ceritakan tentang tour guide adalah seseorang yang menemani wisatawan atau tamu untuk berjalan-jalan dan memahami lokasi setempat. Lalu Yunita menegaskan, “Pemandu wisata kah?” dan ku jawab, “Itu sudah, mau?” Dengan senyumnya yang malu-malu dia katakan, “Ya sudah..”
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas Gadjah Mada, 081227144577)


Habis Hitam Terbitlah Putih
Terkisah seorang perjaka, yang sedang mencari cinta. Dia berkelana ke sana-ke mari, mendaki gunung, lewat di lembah, mengarungi samudra, terbang ke angkasa. Walaupun segala upaya telah dilakukannya. Cinta yang dia cari tak kunjung ditemukan. Cinta yang bukan sembarang cinta. Cinta yang tak pernah didapatkan seseorang pun di muka bumi. Cinta yang kekal dan tak berujung.
Sang perjaka ini menyebut dirinya, Jaka. Perjaka dengan perawakan tinggi, kurus, dengan kulit hitam langsat. Karakternya yang keras kepala menjerumuskan dirinya pada kehampaan tanpa teman. Dia mencari cintanya sendiri, tanpa dukungan dari semua teman-temannya, hanya kedua orang tuanya lah yang setiap hari menyelipkan segenap harapan di setiap panjatan doa-doa. Dengan bekal doa kedua orang tua itu lah, Jaka terus melanjutkan perjalannan mencari cintanya, meskipun halangan dan rintangan menghadang.
Sampailah Jaka pada sebuah desa yang terkenal dengan kesejahteraan rakyatnya. Jaka berusaha mencari cintanya di desa ini dengan menjadi cendekiawan. Jaka mengambil profesi sebagai guru di desa ini. Di tengah kesibukannya menjadi seorang guru, Jaka bertemu dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya. Jaka pun terkesimak dengan kecantikkannya. Jaka berusaha untuk menjalin hubungan dengan perempuan tersebut. Beruntung sekali, perempuan itu pun dengan senang hati menjalin hubungan baik dengan Jaka. Didapatkanlah nama dari perempuan itu, yakni Asiska. Hari berikutnya, Jaka semakin nyaman dengan Asiska. Begitu pula dengan si Asiska.
Hubungan yang semakin dekat mendorong Jaka untuk ke jenjang hubungan yang lebih serius. Jaka bertekad untuk berkunjung ke rumah Asiska untuk menyampaikan maksudnya selama ini, yakni menjadikan Asiska sebagai pendamping hidup yang telah lama ia cari-cari. Sesampainya di rumah Asiska, Sandi menemukan sosok yang telah ia kenal dekat, namun bukan sebagai teman karibnya, melainkan sebagai musuhnya. Ya, dia bertemu dengan rekan kerjanya yang selalu menjadi oposisi ketika rapat. Malangnya, usul-usul dari Jaka selalu terpatahkan oleh usul pemuda tersebut. Hal ini dikarenakan, audience yang menghadiri rapat tersebut mayoritas adalah penggemar musuh Jaka. Sehingga, ide yang diterima dalam forum tentu saja ide dari musuh Jaka. Lalu, setelah beberapa detik menahan emosi dan menenangkan diri, Jaka pun menanyakan keterangan dari musuhnya itu, “Sedang apa kau di sini?”
Musuh Jaka pun membalas, “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?”
“Aku ingin mengunjungi Asiska..” jawab Jaka dengan tegas.
“Ada maksud apa kau mengunjungi adik ku?” tanya musuh Jaka lagi.
Jaka sangat terkejut dengan jawaban dari musuhnya. Ya, musuh Jaka yang termasuk kategori orang paling ganteng di kantornya, tak disangka dia adalah Kakak Asiska, gadis cantik yang Jaka ingin nikahi. Musuhnya adalah calon kakak ipar Jaka. Sedangkan Jaka hanyalah pria dekil, kurus, dan hitam yang tak sepadan dengan musuhnya yang jauh lebih putih, bersih, dan terpelihara. Jaka pun melenyapkan semua imaginasinya. “Cukup sudah, ini mustahil.” Kata Jaka dalam hati.
Esok harinya, Jaka memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi guru dan berencana untuk pergi dari desa yang terkenal dengan kesejahteraannya ini. Rasa kecewa yang mendalam menyelimuti hari-hari Jaka. Ini kesekian kalinya Jaka mendapat kendala dalam mencari cinta. Jaka pun mencoba mengumpulkan semangat-semangat yang tersisa. Dia tidak ingin menyerah. Dia membangun keyakinannya kembali, bahwa suatu saat dia pasti akan menemukan pendamping hidup yang benar-benar baik untuk dirinya.
Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti petang, Jaka lelah melanjutkan perjalanannya, dia memutuskan untuk istirahat di temapt peribadatan. Di sana, Jaka berdoa agar segera menmukan cinta sejatinya. Ini pertama kalinya Jaka beribadah dengan sungguh-sungguh berdoa pun juga dengan sungguh-sungguh. Hingga tanpa sadar dia tertidur lelap. Pagi harinya, Jaka dibangunkan oleh petugas pengelola tempat peribadatan. Jaka sempat berbincang-bincang dengan petugas pengelola tempat peribadatan tersebut. Jaka menceritakan perjalanan pencarian cintanya. Si petugas pengelola tempat peribadatan pun mengenalkan Jaka pada seorang gadis manis yang sering beribadah di tempat peribadatan tersebut, nama gadis itu Yasa. Yasa sangat dewasa, sikapnya yang keibu-ibuan membuat Jaka nyaman bersama Yasa. Namun, kali ini Jaka tak ingin terburu-buru mengutarakan maksudnya pada Yasa. Jaka ingin mencari waktu yang benar-benar tepat.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa Jaka telah menjalin hubungan dengan Yasa selama satu tahun. Saat inilah, waktu yang tepat menurut Jaka untuk mengutarakan maksudnya kepada Yasa. Saat Jaka menghampiri Yasa untuk mengutarakan maksudnya, saat itu pula Yasa memberi sebuah kertas dengan rangkaian bunga dipinggirnya. Yasa memberikan undangan pernikahannya terlebiha dahulu sebelum Jaka mengutarakan maksud yang selama ini dia simpan. Sekali lagi, hati Jaka hancur berkeping-keping. Jaka ingin berlari sekencang-kencangnya menjauh dari Yasa.
Di tengah pelariannya, Jaka mencoba mengintrospeksi diri, kesalahan-kesalahan apakah yang telah dia lakukan. Hingga cintanya selalu kandas di tengah jalan. Di akhir perenungannya, Jaka menyimpulkan bahwa dia perlu lebih agresif lagi untuk mendapatkan cintanya. Jaka mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang sempat hancur. Dia mengobati hatinya yang terlampau sering dikecewakan. Agar tetap terus memperjuangkan cintanya.
Kini, hati Jaka mencoba berlabuh di rumah makan. Di sana, dia bertemu dengan perempuan pengusaha muda, cantik, dan pandai. Di pandangan pertama, Jaka telah jatuh hati pada perempuan itu, begitu pula perempuan muda itu. Mereka mengawali perkenalannya dengan menyebutkan nama masing-masing, “Jaka” kata Jaka dengan melemparkan senyum termanisnya. “Arma” jawab perempuan pengsaha itu dengan hati berbunga-bunga. Untuk kali ini, Jaka yang bermaksud ingin lebih agresif justru merasa tidak perlu seagresif yang dia pikirkan. Karena Arama telah jauh lebih agresif mendekatkan dirinya pada Jaka. Sering kali Arma menanyakan soal prospek usahanya kepada Jaka, mengingat Jaka yang berlatar belakang pendidikan ekonomi. Sering pula Arma menceritakan privatisasinya kepada Jaka. Jaka pun dengan senang hati mendengarkan. Hubungan mereka semakin dekat, dan Jaka pun sangat yakin kali ini dia akan berhasil mendapatkan cintanya. Karena Arma adalah gadis yang baik, pandai, manis, serta menghargai dan menghormati Jaka.
Tibalah saat Jaka mengutarakan maksudnya. “Bagaimana menurut mu?” tanya Jaka pada Arma.
“Iya, kita tingga menunggu waktu. Ngga mungkin juga kan kalau kita menikah tanpa uang.” tutur Arma dengan lembut.
Jaka dengan latar belakang yang keras kepala, justru menilai Arma kapitalis, liberalis, dan tidak sesuai dengan Jaka. Jaka pun meninggalkan Arma sejauh-jauhnya. Dan Jaka pun tetap berkeyakinan akan adanya habis hitam, terbitlah putih. Walaupun itu satu di antara sejuata yang ada.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas Gadjah Mada, 081227144577)