Habis Hitam Terbitlah Putih
Terkisah
seorang perjaka, yang sedang mencari cinta. Dia berkelana ke sana-ke mari,
mendaki gunung, lewat di lembah, mengarungi samudra, terbang ke angkasa. Walaupun
segala upaya telah dilakukannya. Cinta yang dia cari tak kunjung ditemukan. Cinta
yang bukan sembarang cinta. Cinta yang tak pernah didapatkan seseorang pun di
muka bumi. Cinta yang kekal dan tak berujung.
Sang
perjaka ini menyebut dirinya, Jaka. Perjaka dengan perawakan tinggi, kurus,
dengan kulit hitam langsat. Karakternya yang keras kepala menjerumuskan dirinya
pada kehampaan tanpa teman. Dia mencari cintanya sendiri, tanpa dukungan dari
semua teman-temannya, hanya kedua orang tuanya lah yang setiap hari menyelipkan
segenap harapan di setiap panjatan doa-doa. Dengan bekal doa kedua orang tua
itu lah, Jaka terus melanjutkan perjalannan mencari cintanya, meskipun halangan
dan rintangan menghadang.
Sampailah
Jaka pada sebuah desa yang terkenal dengan kesejahteraan rakyatnya. Jaka
berusaha mencari cintanya di desa ini dengan menjadi cendekiawan. Jaka
mengambil profesi sebagai guru di desa ini. Di tengah kesibukannya menjadi
seorang guru, Jaka bertemu dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya. Jaka
pun terkesimak dengan kecantikkannya. Jaka berusaha untuk menjalin hubungan
dengan perempuan tersebut. Beruntung sekali, perempuan itu pun dengan senang
hati menjalin hubungan baik dengan Jaka. Didapatkanlah nama dari perempuan itu,
yakni Asiska. Hari berikutnya, Jaka semakin nyaman dengan Asiska. Begitu pula
dengan si Asiska.
Hubungan
yang semakin dekat mendorong Jaka untuk ke jenjang hubungan yang lebih serius. Jaka
bertekad untuk berkunjung ke rumah Asiska untuk menyampaikan maksudnya selama
ini, yakni menjadikan Asiska sebagai pendamping hidup yang telah lama ia
cari-cari. Sesampainya di rumah Asiska, Sandi menemukan sosok yang telah ia
kenal dekat, namun bukan sebagai teman karibnya, melainkan sebagai musuhnya.
Ya, dia bertemu dengan rekan kerjanya yang selalu menjadi oposisi ketika rapat.
Malangnya, usul-usul dari Jaka selalu terpatahkan oleh usul pemuda tersebut.
Hal ini dikarenakan, audience yang
menghadiri rapat tersebut mayoritas adalah penggemar musuh Jaka. Sehingga, ide
yang diterima dalam forum tentu saja ide dari musuh Jaka. Lalu, setelah
beberapa detik menahan emosi dan menenangkan diri, Jaka pun menanyakan
keterangan dari musuhnya itu, “Sedang apa kau di sini?”
Musuh
Jaka pun membalas, “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?”
“Aku
ingin mengunjungi Asiska..” jawab Jaka dengan tegas.
“Ada
maksud apa kau mengunjungi adik ku?” tanya musuh Jaka lagi.
Jaka
sangat terkejut dengan jawaban dari musuhnya. Ya, musuh Jaka yang termasuk
kategori orang paling ganteng di kantornya, tak disangka dia adalah Kakak
Asiska, gadis cantik yang Jaka ingin nikahi. Musuhnya adalah calon kakak ipar Jaka.
Sedangkan Jaka hanyalah pria dekil, kurus, dan hitam yang tak sepadan dengan
musuhnya yang jauh lebih putih, bersih, dan terpelihara. Jaka pun melenyapkan
semua imaginasinya. “Cukup sudah, ini mustahil.” Kata Jaka dalam hati.
Esok
harinya, Jaka memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi guru dan berencana
untuk pergi dari desa yang terkenal dengan kesejahteraannya ini. Rasa kecewa
yang mendalam menyelimuti hari-hari Jaka. Ini kesekian kalinya Jaka mendapat
kendala dalam mencari cinta. Jaka pun mencoba mengumpulkan semangat-semangat
yang tersisa. Dia tidak ingin menyerah. Dia membangun keyakinannya kembali,
bahwa suatu saat dia pasti akan menemukan pendamping hidup yang benar-benar
baik untuk dirinya.
Pagi
berganti siang, siang berganti sore, sore berganti petang, Jaka lelah
melanjutkan perjalanannya, dia memutuskan untuk istirahat di temapt peribadatan.
Di sana, Jaka berdoa agar segera menmukan cinta sejatinya. Ini pertama kalinya
Jaka beribadah dengan sungguh-sungguh berdoa pun juga dengan sungguh-sungguh.
Hingga tanpa sadar dia tertidur lelap. Pagi harinya, Jaka dibangunkan oleh
petugas pengelola tempat peribadatan. Jaka sempat berbincang-bincang dengan
petugas pengelola tempat peribadatan tersebut. Jaka menceritakan perjalanan
pencarian cintanya. Si petugas pengelola tempat peribadatan pun mengenalkan
Jaka pada seorang gadis manis yang sering beribadah di tempat peribadatan
tersebut, nama gadis itu Yasa. Yasa sangat dewasa, sikapnya yang keibu-ibuan
membuat Jaka nyaman bersama Yasa. Namun, kali ini Jaka tak ingin terburu-buru
mengutarakan maksudnya pada Yasa. Jaka ingin mencari waktu yang benar-benar
tepat.
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa Jaka
telah menjalin hubungan dengan Yasa selama satu tahun. Saat inilah, waktu yang
tepat menurut Jaka untuk mengutarakan maksudnya kepada Yasa. Saat Jaka
menghampiri Yasa untuk mengutarakan maksudnya, saat itu pula Yasa memberi
sebuah kertas dengan rangkaian bunga dipinggirnya. Yasa memberikan undangan
pernikahannya terlebiha dahulu sebelum Jaka mengutarakan maksud yang selama ini
dia simpan. Sekali lagi, hati Jaka hancur berkeping-keping. Jaka ingin berlari
sekencang-kencangnya menjauh dari Yasa.
Di
tengah pelariannya, Jaka mencoba mengintrospeksi diri, kesalahan-kesalahan
apakah yang telah dia lakukan. Hingga cintanya selalu kandas di tengah jalan. Di
akhir perenungannya, Jaka menyimpulkan bahwa dia perlu lebih agresif lagi untuk
mendapatkan cintanya. Jaka mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang sempat
hancur. Dia mengobati hatinya yang terlampau sering dikecewakan. Agar tetap
terus memperjuangkan cintanya.
Kini,
hati Jaka mencoba berlabuh di rumah makan. Di sana, dia bertemu dengan
perempuan pengusaha muda, cantik, dan pandai. Di pandangan pertama, Jaka telah
jatuh hati pada perempuan itu, begitu pula perempuan muda itu. Mereka mengawali
perkenalannya dengan menyebutkan nama masing-masing, “Jaka” kata Jaka dengan
melemparkan senyum termanisnya. “Arma” jawab perempuan pengsaha itu dengan hati
berbunga-bunga. Untuk kali ini, Jaka yang bermaksud ingin lebih agresif justru
merasa tidak perlu seagresif yang dia pikirkan. Karena Arama telah jauh lebih
agresif mendekatkan dirinya pada Jaka. Sering kali Arma menanyakan soal prospek
usahanya kepada Jaka, mengingat Jaka yang berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Sering pula Arma menceritakan privatisasinya kepada Jaka. Jaka pun dengan
senang hati mendengarkan. Hubungan mereka semakin dekat, dan Jaka pun sangat
yakin kali ini dia akan berhasil mendapatkan cintanya. Karena Arma adalah gadis
yang baik, pandai, manis, serta menghargai dan menghormati Jaka.
Tibalah
saat Jaka mengutarakan maksudnya. “Bagaimana menurut mu?” tanya Jaka pada Arma.
“Iya,
kita tingga menunggu waktu. Ngga mungkin juga kan kalau kita menikah tanpa
uang.” tutur Arma dengan lembut.
Jaka
dengan latar belakang yang keras kepala, justru menilai Arma kapitalis,
liberalis, dan tidak sesuai dengan Jaka. Jaka pun meninggalkan Arma
sejauh-jauhnya. Dan Jaka pun tetap berkeyakinan akan adanya habis hitam,
terbitlah putih. Walaupun itu satu di antara sejuata yang ada.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas
Gadjah Mada, 081227144577)
Putri Salju di Negeri Kelam
Sayup-sayup
senandung putri salju terdengar sampai di kedalaman sumur. Mendengar suara itu,
barisan semut serempak keluar dari lorong sumur untuk bersenandung bersama
Putri Salju. “Lalalala.. Lalala.. Lalala..” Ou, ternyata binatang-binatang lain
pun juga menyemarakkan acara. Burung gereja, rusa, dan katak pun tak ingin
ketinggalan dalam irama. Bahkan kurcaci pun ikut di sana.
Beginilah
rutinitas Putri Salju di pagi hari, bersenandung dengan teman-teman
binatangnya. Putri salju tidak hanya bersenandung huru-hara, tetapi dia juga
menyambinya dengan menyelesaikan pekerjaan rumah yang diberi oleh ibu tirinya.
Rasa jenuh yang menghampiri Putri Salju ketika menyelesaikan tugas akan segera
lenyap ketika teman-teman binatangnya datang dan warna-warni bunga telah
bermekaran di taman. Hanya inilah yang dapat menghibur Putri Salju di istana, Mewarnai
hari-hari yang penuh siksa dari ibu tiri.
Kadang,
seusai mengerjakan tugas rumah, Putri Salju bermain bersama putri-putri
lainnya. Putri Tidur, Putri Duyung, Putri Jelita, dan putri-putri bangsawan
lainnya. Tak jarang Putri Salju mendapat teguran dari ibu tiri ketika tertangkap
basah sedang bermain dengan putri-putri bangsawan. Ibu tiri selalu mengebiri
Putri Salju agar ia tidak menuntut lebih dari yang diberi oleh ibu tiri,
termasuk melarang Putri Salju untuk bermain dengan putri bangsawan. Ibu tiri
khawatir, jikalau Putri Salju bermain dengan putri bangsawan, maka Putri Salju dapat
menambah wawasan dan mampu memberontak pada ibu tiri. Kekayaan dari raja
sebagai ayah kandung Putri Salju dikuasai oleh ibu tiri, tak sedikit pun harta
yang dimiliki oleh Putri Salju. Hanya kumpulan buku bekas milik raja yang
dimiliki Putri Salju. Buku-buku inilah yang menemani Putri Salju ketika dikurung
oleh ibu tiri di gudang. Banyak buku-buku raja yang mengisahkan mengenai
kepahlawanan salah satunya Biografi R. A. Kartini. Dari buku ini Putri Salju
memahami makna dari potensi seorang perempuan untuk belajar dan mencapai
kesuksesan.
Hari-hari
dirasakan semakin berat, Putri Salju yang begitu penyabar pun merasakan dirinya
sudah tak kuat lagi menahan beban. Sebenarnya Putri Salju sangat mencintai ibu
tirinya. Dia tidak mau meninggalkan ibu tirinya karena takut membuatnya sedih.
Namun, Putri Salju juga manusia biasa yang membutuhkan kebahagiaan. Dia
membutuhkan sebuah tempat yang berisi orang-orang yang menyayangi dia.
Putri
Salju pun membulatkan tekad untuk pergi dari rumah. Meski pada saat itu dia
belum mempunyai harapan yang pasti tentang akan adanya tempat yang penuh kebahagiaan
itu. Semua serba tersembunyi seperti hutan yang akan dia masuki. Tidak begitu
sulit bagi Putri Salju untuk lepas dari pengawasan ibu tirinya dan lari ke
hutan. Semua dilakukan Putri Salju dengan secepat kilat walau tanpa persiapan
yang panjang. Hanya gaun lusuh dan sepatu kayunya yang menemaninya menerobos
hutan antah berantah itu.
Hutan
yang dia masuki sebenarnya sangat popular di kalangan manusia pada waktu itu
sebagai hutan yang sangat kejam. Namun, Putri Salju saat itu yakin pasti lebih
kejam ibu tirinya daripada hutan itu.
Putri
Salju memasuki hutan itu dengan hati yang riang. Dia senang bisa melewati
pengawasan ibu tirinya. Bayangan hidup penuh kebahagiaan ada di depan mata.
Terlintas dalam benaknya tentang seorang putri yang kabur dari rumahnya lalu
menikah dengan pangeran dan mereka pun hidup bahagia selamanya.
Tak
perlu waktu lama bagi Putri Salju untuk mendapatkan keluarga yang baru di hutan
itu. Hewan-hewan yang senantiasa bersenandung bersamanya di tiap pagi kini
dapat terus menemaninya. Hewan-hewan itu pun bahagia karena dapat mencari
makanan, bermain, dan hidup sepanjang hari bersama Putri Salju di hutan.
Di
hari yang cerah, Putri Salju merasa sedih karena seekor tupai yang dia sayangi
mengalami sakit yang amat parah. Seharian penuh dia keliling hutan untuk
mencari obatnya. Walau Putri Salju belum tahu si tupai itu sakit apa. Di tengah
kepanikannya, datang seorang nenek menanyakan mengapa Putri Salju terlihat
sedih. Putri Salju menceritakan bahwa seekor tupainya sedang sakit dan butuh
obat. Si nenek pun memberi sebuah apel yang telah diberi mantera. Nenek itu
menyuruh Putri Salju kepada si tupai agar bisa sembuh.
Putri
Salju sangat senang dan segera ke tempat si tupai. Namun, karena perjalanannya
cukup jauh, Putri Salju merasa lapar. Ketika dia melihat apel itu, terlihat
sangat menarik mata. Putri Salju pun tergoda untuk memakan apel itu. Sangat
ajaib, Putri Salju seketika pingsan ketika memakan apel itu.
Ternyata
apel itu bukanlah apel biasa. Apel itu memang jauh lebih menarik mata dari apel
pada umumnya. Namun, apel itu hanya akan membawa manfaat pada orang yang
meminta izin dari pemiliknya dahulu dan membawa petaka bagi orang yang
memakannya tanpa izin.
Para
kurcaci yang menemani Putri Salju panik seketika. Mereka sangat sedih melihat
Putri Salju tak sadarkan diri. Mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan
melainkan hanya menangis. Hingga pada suatu saat datanglah seorang Pangeran ke
tempat Putri Salju. Pangeran itu bernama Pangeran Abu Vulkanik. Orang-orang pun
bingung mengapa dia memiliki nama seperti itu. Padahal pangeran itu sangat
tampan, dan berasal dari keluarga yang bangsawan.
Pangeran
itu datang ke hutan karena mendapat rumor bahwa putri yang terkenal paling
cantik itu sedang melarikan diri ke hutan. Pangeran itu pun tergerak untuk mencari
Putri Salju. Dan benarlah rumor itu, Pangeran kini telah menemukan Putri Salju.
Pangeran dengan halus memohon izin kepada kurcaci untuk bisa membawa Putri
Salju ke rumahnya. Kurcaci itu pun percaya akan cerita tentang seorang putri
yang pingsan lalu dicium oleh pangeran dan ketika sadar mereka bahagia hidup
selamanya.
Pangeran
itu pun membawa Putri Salju ke istananya dengan kudanya. Sesampainya di istana,
Pangeran merebahkan Putri Salju. Lalu Pangeran pun melepas sepatunya dan
mendekatkannya ke hidung Putri Salju. Putri Salju seketika sadar dan
terbatuk-batuk. Ketika dia melihat ada Pangeran di hadapannya, senyumnya
terkembang lebar. Dalam benaknya, dia mengira bahwa Pangeran itu menciumnya dan
mereka akan hidup bahagia selamanya. Namun, bayangan itu seketika sirna ketika
Pangeran langsung menyuruh Putri Salju membersihkan sepatu Pangeran yang penuh
lumpur itu. Tak hanya itu, Pangeran sering sekali memerintah Putri Salju dari
pagi hingga malam menyingsing hari. Perilaku-perilaku kasar pun kerap Putri
Salju dapatkan. Harapan tentang hidup bahagia selamanya itu pun terkikis. Arti
dari nama “Pangeran Abu Vulkanik” kini pun dapat dimengerti oleh Putri Salju.
Sifatnya sama dengan namanya, kejam dan menyesakkan. Sama seperti Abu Vulkanik.
Putri
Salju pun merasa serba salah. Ingin sekali dia tetap memelihara mimpi-mimpi
akan hidup penuh kebahagiaan. Namun kenyataan justru menjadikannya hidup dari
penderitaan yang satu ke penderitaan yang lainnya. Dia pun sebenarnya akan
bunuh diri jika dia tidak ingat akan cerita dari ayahnya mengenai Pemuda
Ashabul Kahfi. Ya, cerita itu bukan cerita dongeng. Melainkan cerita nyata dari
kitab suci. Cerita tentang pemuda yang hidup di zaman penuh dengan penderitaan
namun ditidurkan oleh Tuhan hingga tiga ratus tahun. Ketika mereka terbangun
pun mereka berada pada zaman pemerintahan raja yang adil dan baik hati. Putri
Salju yakin, sehabis penderitaan pasti akan ada kebahagiaan. Putri Salju pun
menguatkan dirinya, terus menjalani harinya sambil terus berdoa kepada Tuhannya
agar memberikan kepadanya kebahagiaan. Entah itu kebahagiaan di dunia ataupun
akherat. End.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas
Gadjah Mada, 081227144577)
Amon dan Amin
Hai,
perkenalkan ini adalah Amin. Dia adalah tukang topeng monyet yang sering kalian
temukan di perempatan jalan. Dia hanya berpendidikan Sekolah Menengah Pertama,
hal ini karena Amin telah yatim-piatu ketika dia berusia 12 tahun. Namun, Amin
memutuskan untuk tidak tinggal di sebuah panti seperti anak yatim-piatu pada
umumnya karena dia ingin berpetualang dan selalu ingin tertantang. Dia memiliki
sahabat setia bernama Amon, monyet yang lincah dan selalu menghibur hati yang
sedang gundah gulana. Amin dan Amon memiliki karakter yang sama, mereka pekerja
keras, rajin, ulet, kritis, dan kreatif. Hanya saja pilihan hidup mereka untuk
selalu menikmati apa yang ada dan berusaha untuk hidup sederhanalah yang
membuat mereka berada kekal di kelas ekonomi menengah ke bawah.
Pagi
ini Amin dan Amon menjalankan rutinitasnya sebagai tukang topeng monyet.
Setelah usai beribadah, membersihkan diri, Amin hendak membeli sarapan pagi
untuk dirinya dan si Amon. Namun, Amon menarik celana Amin, pertanda Amon tidak
sepakat dengan Amin. Amin pun mengurungkan kehendaknya. Lalu Amin merogoh saku
celana mengambil dompet lusuh, keabu-abuan dan sedikit bau, “Kau monyet pintar
Mon, lupa aku untuk memeriksa dompet ku, isi dompet ku hanya tumpukan kertas
nota utang yang harus segera kita bayar.. Baiklah, hari ini kita puasa lagi ya
Mon..” tutur Amin kepada Amon setelah melihat dompetnya. Amon pun
melompat-lompat bersemangat mengajak Amin keluar rumah dan segera mencari
nafkah. Amin mengambil gerak cepat mempersiapkan peralatan topeng monyetnya.
Hangatnya
mentari menambah semangat Amin dan Amon mempertunjukan atraksinya. Di sebuah
perempatan lampu merah, Amon dan Amin
mempersiapkan aksinya. Setelah gendang ditabuh oleh Amin, Amon seperti kesetanan,
berlompat-lompat sangat lincah, ke sana-ke mari penuh energik diiringi suara
gendang yang semakin keras dan cepat dalam ketukan temponya. Di awali dengan payung
kecil dan tas kecil, Amon memerankan sebagai seorang Ibu-Ibu yang sedang belanja
di pasar. Entahlah, sepertinya Amon ingin menyindir Ibu-Ibu yang sedang
bermake-up di dalam mobil hingga wajahnya putih bersih, yang kemungkinan besar
Ibu-Ibu itu enggan berbelanja dan berpanas-panas ria masuk ke dalam pasar.
Tidak seperti Amon, monyet hitam yang hidupnya pun berhimpitan dengn pasar yang
panas, padat, dan penat. Berikutnya Amon mengambil sebuah becak mini di samping
gendang. Kali ini, Amon ingin menyindir pemilik mobil mewah penyumbang sebagian
besar polusi udara di kota. Amon berpikir, andai saja orang-orang kota tetap
menggunakan becak sebagai alat transportasinya. Udara di kota pasti tak akan
sehitam ini, penuh asap kendaraan. Jika orang-orang kota menggunakan becak
untuk kegiatan keseharian, di samping udara di kota akan bersih, putih, dan
asri. Alat transportasi becak pun tak akan punah. Bukankah sebuah alat
transportasi merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang sebaiknya
dilestarikan. “Tapi orang kota ini, lebih mengutamakan efektifitas waktu
sepertinya”, Amon mengira-ngira. Si Amin pun menabuh gendangnya lebih keras,
sengaja untuk menyadarkan Amon agar tak terlalu lama memainkan becak mininya. Amin
pun melempar topeng pada Amon. Amon dengan sekejap menangkap topeng tersebut
dan memakainya di pangkal ekornya. Amin terkejut dan memukul gendang
keras-keras, agar si Amon memindah posisi topeng ke muka. Amon terkekeh-kekeh
melihat ekspresi sahabatnya yang berhasil dia kejutkan. “Dasar monyet usil
pencipta gelak tawa”, celetuk Amin pada Amon.
Amon
memainkan topeng diselingi tarian-tarian abstrak. Tarian Amon menarik perhatian
para pengemudi. Mereka berusaha memaknai gerak-gerik Amon. Amon semakin
menjiwai topeng dan tariannya. Amin pun meneriaki Amon, “Mon, tariannya jangan
terlalu abstrak, diperjelas lagi.. Hahaha..” Amin sedikit geli melihat tarian
Amon yang semakin lambat, abstrak, dan tak jelas seperti pantomim. Amon
memperjelas gerakan tariannya. Dia bermaksud menggambarkan sosok koruptor yang bermuka
dua. Ketika pesta pemilu koruptor-koruptor itu menggunakan topeng sebagai kedok
tindakan menyimpangnya. Mereka memasang wajah-wajah bersih, rapi, dan putih
mereka pada sebuah reklame dan spanduk-spanduk di seluruh sudut kota. Namun,
siapa sangka di balik wajah mereka, ada sikap yang tidak sesuai dengan nilai
dan norma. Mereka memakan hak masyarakat, termasuk hak Amon dan Amin. Mereka menuntut
hak, tapi tak menjalankan kewajiban. Mereka membanggakan kekayaan, tetapi tak
dapat dibanggakan masyarakat. Begitulah hitam di balik putihnya para koruptor.
Usai
beratraksi, Amin menggendong Amon dan berkeliling mengumpulkan uang dari
pengendara motor yang mungkin terhibur oleh Amon dan Amin. Dimulai dari
pengendara sepeda motor yang berhenti paling depan dekat zebra cross. Seribu rupiah disodorkan oleh si pengemudi.
Selanjutnya menuju ke mobil mewah, mobil yang dimiliki ibu-ibu bermake up tadi.
Ibu-ibu itu hanya mengusir Amon dan Amin. Berikutnya Amon dan Amin menuju Mobil
Toyota berwarna hitam, seterusnya Amon dan Amin meneruskan mengumpulkan uang
dari pengemudi kendaraan, hingga lampu lalu lintas berganti hijau, motor-motor
dan mobil menancap gas, berebut jalan. Amon dan Amin merasa lega di antara
kepenatan motor dan mobil yang berebut jalan.
Amon
dan Amin segera menghitung pendapatannya dalam sekali bermain. Terkumpulah uang
sebanyak Rp 7500,- “Mon hari ini sepertinya keberuntungan berpihak pada kita.
Kita akan dapat melunasi semua utang kita, jika sekali bermain kita mendapat Rp
7.500,- ”
Beginilah
pekerjaan Amon dan amin di setiap harinya. Dalam sehari mereka biasa mendapat Rp
30.000,- hingga Rp 50.000,- dan setiap hari mereka beratraksi kurang lebih 25
kali, dari pagi hingga sore. Sore hingga malam hari mereka habiskan untuk
berkumpul dengan teman-teman gelandangannya. Seperti sore ini, Amon dan Amin
berkumpul bersama teman-teman gelandangannya di warung pinggir jalan dekat
perguruan tinggi UNY. Mereka menghabiskan waktu untuk sekedar bercanda,
berbagi, atau mengkritisi isu yang sedang hangat diperbincangkan. Tapi sore ini
ada yang berbeda dengan sore-sore sebelumnya. Tak biasa ada seorang mahasiswa
di warung tersebut. Tampak pakaiannya yang necis, kulitnya yang putih, dan bau
harum di tubuhnya menambah nilai positif akan status civitas akademika.
“Bang,
es teh dua..” kata mahasiswa itu. “Mon, mahasiswanya rakus ternyata..” bisik
Amin pada Amon. Amon hanya garuk-garuk kepala. Lalu Amon mendekati mahasiswa
tersebut, menaiki pundaknya dan memainkan rambut mahasiswa tersebut. Ini adalah
salah satu modus Amon untuk pendekatan pada seseorang. Mahasiswa itu justru
membalas memainkan ekor Amon. Amon menjadi penasaran, dari sinilah mereka
semakin akrab dan nyaman. Amin menyimpan rasa cemburu dalam-dalam. Melihat Amon
yang kompak dan sangat serasi dengan mahasiswa tersebut. “Hohoho.. monyet ini
lucu sekali. Siapakah gerangan pemilik mu Nyet?” celetuk mahasiswa tersebut. Sontak,
Amin mengambil seribu langkah untuk merenggut Amon dari mahasiswa tersebut.
“Dia milik ku, namanya Amon, monyet yang pintar seperti majikannya” “Oh, hai,
senang berkenalan dengan monyet mu, aku Marco, kalau boleh tahu, siapa nama
mu?”, sambut mahasiswa itu. “Nama ku Amin, senang juga berkenalan dengan mu.” jawab
Amin. “Aku mahasiswa semester 7.. Ini pertama kalinya aku makan di warung
pinggir jalan. Sengaja sih, buat nambah referensi rumah makan.” kata Marco. “Oh
gitu, tenang kamu tidak salah tempat, warung ini menyediakan makanan halal,
nikmat, dan murah. Warung ini termasuk dalam daftar warung langganan ku..” timpal
Amin pada Marco. “Benar kah? Senang mendengarnya, karena ada tujuan lain juga
aku mencoba makan di warung pinggir jalan. Aku bermaksud membuat sebuah rumah
makan yang murah tapi juga berkualitas.” papar Marco. “Ouh gitu.. Bagus itu..”
balas Amin dengan sedikit dengki. “Kau sendiri sedang apa di sini?” tanya Marco
pada Amin. “Aku? Apa lagi kalau tidak untuk makan.. Ngga mungkin kan kalau aku
ke warung untuk mencari inspirasi skripsi ku. Aku bukan mahasiswa, Marco.. Aku
hanya tukang topeng monyet.. Ya, makan diselingi bergurau dengan teman-teman ku
ini.. Tapi sekarang aku sedang menanti adzan untuk berbuka” jawab Amin sesekali
melihat jam di dinding. “Lho, jadi kamu tukang topeng monyet?” Marco mencoba
menegaskan. “Iya, aku menjadi tukang topeng monyet dibantu oleh Amon. Monyet
yang lincah, lucu, dan setia ini” tutur Amin. “Ehmm.. kalau begitu aku ingin
menawarkan pekerjaan yang mungkin lebih ringan dibanding menjadi tukang topeng
monyet.” usul Marco pada Amin. “Memang kau ingin menawarkan pekerjaan apa?” tanya
Amin penasaran. “Bagaimana jika kamu menjadi manager pemasaran di rumah makan
yang akan aku rintis nanti?” tawar Marco. “Aku yakin itu pekerjaan yang elit
dan tidak memerlukan sebuah kerja keras untuk mendapatkan kebutuhan akan materi
ku. Tapi, jujur aku sudah merasa tercukupi dengan pekerjaanku yang sekarang.
Karena di samping pekerjaanku mampu memenuhi kebutuhan materiku, kebutuhan akan
kejiwaanku yang cinta dengan budaya, maksudnya budaya topeng monyet juga dapat
tercukupi. Yang mungkin kebutuhkan kejiwaanku ini tidak mampu tercukupi jika
aku menjadi manager pemasaran. Dan jangan salah sangka, dengan pekerjaan
menjadi topeng monyet ini, jika keberuntungan sedang berpihak kepada ku,
penghasilan yang aku dapat bisa melebihi penghasilan pegawai negeri, atau pun
penghasilan manager pemasaran. Dan yang terakhir, ketika aku menjadi tukang
topeng monyet, berarti secara tidak langsung aku telah berkontribusi menjaga
dan melestarikan nilai kebudayaan kita, yang sering kali diklaim oleh negara
lain” ulas Amin pada Marco panjang kali lebar. Inilah spirit yang dipegang oleh
Amin dan Amon agar tetap menjadi tukang topeng monyet. Ada sisi putih di balik
hitamnya topeng monyet.
Hitam
dan putih sering terpisah oleh jurang yang sangat dalam. Mereka terbedakan oleh
kadar yang luas terbentang. Tapi tak jarang pula, hitam dan putih beriringan
saling melengkapi satu dengan yang lain, sebagai tanda Tuhan Maha Adil. Dan
pada titik tertentu kita tidak dapat menghakimi yang hitamlah yang bersalah
atau putihlah yang benar. Karena masih ada ruang abu-abu di antaranya. Di ruang
abu-abu inilah kita dituntut bersikap bijaksana.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas
Gadjah Mada, 081227144577)
Diam Mu yang Mendalam
Sampailah
aku pada pulau di antara pulau-pulau lainnya. Ya, di Pulau Saonek Kabupaten
Raja Ampat inilah aku akan mengabdi selama dua bulan. Pulau mantan Ibu
Kabupaten Raja Ampat ini memiliki kurang lebih berjumlah kepala keluarga 100 orang,
dari masing-masing kepala keluarga rata-rata memiliki 3-13 orang anak. Penduduknya
yang ramah dan sangat menghormati para tamunya menambah pesona pulau ini untuk
dikunjungi para wisatawan. Pulau dengan jutaan kejutan pemandangan setiap
harinya, entah sekreatif apa Tuhan dalam melukis, namun tak pernah ku temukan
pemandang yang sama di Pulau ini, dan tak pernah bosan ku menatapnya.
Pemandangan yang menawan sejauh mata memandang dari ufuk timur hingga barat.
Dari angkasa hingga lautan, semua berpadu menjadi satu mengiringi hari-hari
yang tak sabar ingin ku pahami. Misteri yang tersurat di gulungan ombak, di
sela-sela dedahan yang tertiup angin sepoi-sepoi, di degradasi warna antara
hijau muda, hijau tua, biru tosca, biru muda, biru tua, dan putih dalam kesatuan
panaroma pantai. Seolah-olah, menghapus semua kenangan terindah yang pernah ku
alami. Ini merupakan potongan surga yang Tuhan berikan pada negeri ku
Indonesia.
Hari
pertama, ku awali dengan kegiatan bersih-bersih markas yang ke depannya menjadi
tempat aku bermukim. Muncullah beberapa bocah dengan rambut ikal, kulit coklat
lingsat, dan mata bulat. Tatapan tajam mereka yang menyorot ke setiap
gerak-gerik ku, mungkin mengisyaratkan sebuah tanya, siapakah gerangan makhluk
baru yang hadir di zona kebanggaan mereka. Perlahan tapi pasti ku dekatkan diri pada mereka dengan senyum 2
senti ke kiri dan 2 senti ke kanan. Uluran tangan sebagai tanda persahabatan ku
tawarkan pada mereka satu persatu sambil menanyakan nama dari masing-masing
bocah. Mereka pun mengutarakan nama mereka satu per satu. Nadya, Miftah, dan
ada juga yang berdiam diri tanda penuh curiga dengan ku. Terus ku rayu dia dan
menanyakan namanya dengan bahasa khas daerah, “Kau pu nama siapa?” Dengan lirih
dia sebut namanya, “Yunita”.
Tiga
hari berlalu, kebutuhan ku untuk menyesuaikan diri cukup terpenuhi. Namun, tak jarang ada hal yang perlu ku
pelajari dari penduduk setempat. Di proses inilah aku selalu mendapat sebuah
pelajaran. Suatu waktu menepis lelah, ku sempatkan diri menyusuri pantai bersama
Yunita, gadis kelas 5 SD yang pendiam. Sering ku tatap matanya untuk mengulik
semua rahasia yang ku yakin ada jutaan jumlahnya. Yunita memiliki kaki yang
sedang terluka. Kakinya diperban. Ketika ku tanya sebabnya, dia menjawab,
terkena pecahan kaca. Setelah beberapa menit berjalan dan bersenda gurau
bersama ombak, Yunita mengenalkan ku pada sebuah kegiatan mengasikkan, yakni
mencari bia bres (red,- kerang),
tekniknya dengan mengais pasir sedikit demi sedikit, hal ini karena bia bres hidup hanya pada permukaan
pasir dan jarang berada di kedalaman pasir. Yunita juga mengutarakan, bahwa bia bres ini dapat dimakan, sontak aku
teringat pada masakan yang berasal dari Thailand dan harganya masuk kategori
mahal, yakni Tom yum. Yah, dari
Yunita ku dapatkan banyak pelajaran diantaranya cara snorkeling, diving, dan yang paling utama adalah survive. Yunita yang berjalan pincang bersama
kaki yang diperban memang jarang tertawa, bahkan tersenyum. Tetapi saat ini dia
sedang membersamai senyum ku, dengan tawanya yang menggigil. Inilah yang sering
aku nantikan dari Yunita dan aku tak pernah puas untuk terus membuatnya
tertawa.
Pernah
otak ku lancang mengira-ngira, alasan Yunita jarang tersenyum akibat kakinya
yang terluka. Namun, kini ketika perbannya telah dilepas, dia tetap sulit untuk
tersenyum. Kemudian, otak ku kembali menyangka, sebab Yunita jarang tersenyum
karena pengalaman suram di masa lalu. Aku terus menelisik Yunita untuk mendapat
jawaban. Di hari berikutnya, aku butuh kelapa tua untuk mendapatkan santan. Setelah
mengitari sekeliling permukiman tak kutemukan kelapa tua itu. Dan Yunita yang
tadinya menemani ku di dapur menghilang entah kemana. Seketika itu, bulu kuduk
ku berdiri. Mungkin angin telah menghempasnya ke sebuah tempat yang tenang.
Selagi menanti air panas mendidih, aku kukuh mencari kelapa tua kembali.
Kemudian, di titik penghabisan keringat yang mengucur, muncullah Yunita di
hadapan ku dengan membawa lima buah kelapa tua. Cukup sudah aku dibuatnya
penasaran dengan kejaibannya. Keajaiban yang bisa bermakna peduli sesama,
bermakna cerdas, bermakna baik, dan masih banyak makna yang ku yakin terselip
dalam jiwa dan raga Yunita. Aku pun mampu dibuatnya tersedu riang dengan
responnya yang tak pernah dapat ku sangka-sangka. Ini membuatku semakin
tergelitik untuk mengenal si gadis manis ini.
Hari
Sabtu tepatnya malam minggu, seusai mengajar di sekolah, Yunita dan pasukannya
mengajak ku mendaki Gunung Saonek di belakang sekolah. Hemm.. Sepertinya mengasikkan..
Kami segera bersuka ria menuju Gunung Saonek. Di perjalanan terlukis senyum
yang ku nantikan di wajah Yunita, serentak saraf-saraf darah ku mengkonsep pemikiran,
ini adalah perjalanan menuju ke surga. Di surga dunia ini, Yunita mengenalkan
ku pada buah tombi-tombi, buah berwarna merah berbentuk bulat dengan rasa
sangat asam. Yunita mengambilkannya untuk ku dengan memanjat pohon
tinggi-tinggi. Gelak tawa teman-teman Yunita lainnya pun menambah riuh-rendah
kicauan burung-burung di dahan pohon tombi-tombi yang tak mau kalah tinggi dari
Yunita. Di sebelah pohon tombi-tombi ada kuburan Kakek-Nenek desa. Yunita pun mengkisahkan
pada ku, bahwa penduduk lokal memiliki ritual melempar uang ke dalam lokasi
pemakaman Kakek dan Nenek desa. Ketika ku tanya tujuan dari ritual tersebut,
Yunita menjawab dengan polosnya, untuk sodakoh. Perutku sakit menahan segala
rasa yang ingin ku ekspresikan, dari rasa kagum, rasa aneh, dan segala rasa
lainnya. Baiklah, aku percaya saja pada Yunita, tapi bukan berarti
menginternalkan pada diri ku untuk praktek ritual tersebut. Mungkin suatu saat
akan ku seleksi dan ku kolaborasi pada nilai dan pemahaman ku.
Sesampai
di ketinggian kurang lebih 300 meter di atas permukaan air, kemiringan semakin
curam, bisa diperkirakan hampir 85 derajat. Kami harus membungkukan badan agar
tidak terjungkir ke bawah. Yunita yang berada di depan ku berteriak sambil mengulurkan
dahan pepohonan untuk membantuku agar tidak terjatuh dan memudahkan dalam
mendaki gunung, “Kakak pegang ini erat-erat.” Happ.. ku dapatkan dahan
pohonnya, dan ku menimpali ucapan terima kasih pada Yunita. Seperti biasa,
Yunita sangat peduli dengan sekitarnya, dia pun memperingati untuk berhati-hati
ketika ada lumut agar tidak terpeleset. Saat aku berdiri ditepian jurang,
Yunita sempat ketakutan dan meneriaki ku, “Kakak jangan berdiri terlalu
pinggir!!” aku terkaget tapi bahagia.
Sampai
di puncak tertinggi, Yunita menunjukkan seekor elang yang terbang bebas di
angkasa yang menyatu pada angin mengintai ikan lengah berenang dipermukaan
laut. Aku pun seketika itu tak dapat
berkutik apa pun, hanya mampu terdiam terkesimak menatap sang elang dan haparan
laut di depan mata. Benar-benar menakjubkan, seorang gadis kecil pendiam mampu
mempertontonkan pada ku seekor binatang langka yang dilindungi dan jarang
diketemukan orang. Di puncak ini, Yunita menggambarkan peta Pulau Saonek dengan
menunjuk beberapa lokasi, diantaranya dermaga, pasar, kantor distrik, pemukimanku,
dan rumah Yunita sendiri. Ada juga makam bawah air, makam ini berada dekat
hutan mangrove, setiap harinya selalu tergenangi air dan ada pula ritual
masyarakat, yakni melemparkan uang koin ke makam itu agar mendapat perlindungan
ketika mincing di lokasi sekitar makam itu, karena di hutan mangrove itu juga
ada buaya putih yang siap menerkam orang-orang yang melanggar hukum adat.
Terpuaskan lah pikiranku oleh pengetahuan dari gadis manis ini. Selanjutanya
kami pulang kembali menyusuri jalan yang telah kami lalui ketika mendaki, angin
sejuk menerpa wajah kami membantu menepis peluh.
Mendekati
hari terakhir pengabdian, aku dan Yunita berkesempatan bermain ke pulau
seberang, Pulau Saonek Munday. Pulau kecil dengan hamparan karang yang
bervariasi. Pulau yang tergolong perawan. Pulau yang tak kalah indah dengan
Pulau Saonek. Di sini, Yunita mengajak ku untuk snorkeling dan diving.
Kami mengawalinya dengan lompat indah dari tepi dermaga. Ups, ternyata ombak
begitu besar dan aku sempat tenggelam karena lelah mengayuh kaki ku di dalam
air. Seketika itu, Yunita menggenggam erat tangan ku dan membantu ku sampai di
permukaan, hingga aku dapat bernafas kembali. Lalu Yunita mendampingi ku
menyelami lautan, walau ombak tak jenuh-jenuhnya menghadang Yunita tetap
menggenggam erat tangan ku. Ribuan ikan-ikan menyambut kedatangan kami. Terumbu
karang pun turut menyapa kami. Ada pun bintang laut yang sedang berjemur di
tepian pantai. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan yang patut kami syukuri.
Di
perjalanan pulang aku mencoba merajut pemahaman mengenai Yunita, si gadis
misterius. Diamnya tak ku sangka penuh makna dan rahasia. Perlu pendekatan yang
mendalam untuk mengetahui apa yang ada dibaliknya. Ibarat warna hitam dan
putih, Yunita adalah warna hitam, dalam artian warna kulit sebenarnya. Dan
warna hitam dalam artian kondisi sosial dan ekonomi yang menurut ku tak
mendukung potensinya. Sedang aku warna putih untuk makna warna kulit putih
sebenarnya. Dan warna putih untuk kondisi sosial dan ekonomi yang jauh lebih
terpenuhi dibanding Yunita. Namun, dalam hitamnya Yunita ada warna putih yang
bening terpancar karena sikapnya yang dewasa, bijaksana, dan cemerlang. Bisa
jadi, akulah yang berwarna hitam, karena belum mampu menghadapi haling rintang
dalam kehidupan. Ku sempatkan untuk bertanya pada Yunita mengenai cita-citanya.
Yunita tersenyum malu. Ku persempit pertanyaan, “Mau jadi tour guide kah?” Yunita
hanya menatapku. Ku ceritakan tentang tour guide adalah seseorang yang menemani
wisatawan atau tamu untuk berjalan-jalan dan memahami lokasi setempat. Lalu
Yunita menegaskan, “Pemandu wisata kah?” dan ku jawab, “Itu sudah, mau?” Dengan
senyumnya yang malu-malu dia katakan, “Ya sudah..”
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas
Gadjah Mada, 081227144577)
Habis Hitam Terbitlah Putih
Terkisah
seorang perjaka, yang sedang mencari cinta. Dia berkelana ke sana-ke mari,
mendaki gunung, lewat di lembah, mengarungi samudra, terbang ke angkasa. Walaupun
segala upaya telah dilakukannya. Cinta yang dia cari tak kunjung ditemukan. Cinta
yang bukan sembarang cinta. Cinta yang tak pernah didapatkan seseorang pun di
muka bumi. Cinta yang kekal dan tak berujung.
Sang
perjaka ini menyebut dirinya, Jaka. Perjaka dengan perawakan tinggi, kurus,
dengan kulit hitam langsat. Karakternya yang keras kepala menjerumuskan dirinya
pada kehampaan tanpa teman. Dia mencari cintanya sendiri, tanpa dukungan dari
semua teman-temannya, hanya kedua orang tuanya lah yang setiap hari menyelipkan
segenap harapan di setiap panjatan doa-doa. Dengan bekal doa kedua orang tua
itu lah, Jaka terus melanjutkan perjalannan mencari cintanya, meskipun halangan
dan rintangan menghadang.
Sampailah
Jaka pada sebuah desa yang terkenal dengan kesejahteraan rakyatnya. Jaka
berusaha mencari cintanya di desa ini dengan menjadi cendekiawan. Jaka
mengambil profesi sebagai guru di desa ini. Di tengah kesibukannya menjadi
seorang guru, Jaka bertemu dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya. Jaka
pun terkesimak dengan kecantikkannya. Jaka berusaha untuk menjalin hubungan
dengan perempuan tersebut. Beruntung sekali, perempuan itu pun dengan senang
hati menjalin hubungan baik dengan Jaka. Didapatkanlah nama dari perempuan itu,
yakni Asiska. Hari berikutnya, Jaka semakin nyaman dengan Asiska. Begitu pula
dengan si Asiska.
Hubungan
yang semakin dekat mendorong Jaka untuk ke jenjang hubungan yang lebih serius. Jaka
bertekad untuk berkunjung ke rumah Asiska untuk menyampaikan maksudnya selama
ini, yakni menjadikan Asiska sebagai pendamping hidup yang telah lama ia
cari-cari. Sesampainya di rumah Asiska, Sandi menemukan sosok yang telah ia
kenal dekat, namun bukan sebagai teman karibnya, melainkan sebagai musuhnya.
Ya, dia bertemu dengan rekan kerjanya yang selalu menjadi oposisi ketika rapat.
Malangnya, usul-usul dari Jaka selalu terpatahkan oleh usul pemuda tersebut.
Hal ini dikarenakan, audience yang
menghadiri rapat tersebut mayoritas adalah penggemar musuh Jaka. Sehingga, ide
yang diterima dalam forum tentu saja ide dari musuh Jaka. Lalu, setelah
beberapa detik menahan emosi dan menenangkan diri, Jaka pun menanyakan
keterangan dari musuhnya itu, “Sedang apa kau di sini?”
Musuh
Jaka pun membalas, “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini?”
“Aku
ingin mengunjungi Asiska..” jawab Jaka dengan tegas.
“Ada
maksud apa kau mengunjungi adik ku?” tanya musuh Jaka lagi.
Jaka
sangat terkejut dengan jawaban dari musuhnya. Ya, musuh Jaka yang termasuk
kategori orang paling ganteng di kantornya, tak disangka dia adalah Kakak
Asiska, gadis cantik yang Jaka ingin nikahi. Musuhnya adalah calon kakak ipar Jaka.
Sedangkan Jaka hanyalah pria dekil, kurus, dan hitam yang tak sepadan dengan
musuhnya yang jauh lebih putih, bersih, dan terpelihara. Jaka pun melenyapkan
semua imaginasinya. “Cukup sudah, ini mustahil.” Kata Jaka dalam hati.
Esok
harinya, Jaka memutuskan untuk berhenti bekerja menjadi guru dan berencana
untuk pergi dari desa yang terkenal dengan kesejahteraannya ini. Rasa kecewa
yang mendalam menyelimuti hari-hari Jaka. Ini kesekian kalinya Jaka mendapat
kendala dalam mencari cinta. Jaka pun mencoba mengumpulkan semangat-semangat
yang tersisa. Dia tidak ingin menyerah. Dia membangun keyakinannya kembali,
bahwa suatu saat dia pasti akan menemukan pendamping hidup yang benar-benar
baik untuk dirinya.
Pagi
berganti siang, siang berganti sore, sore berganti petang, Jaka lelah
melanjutkan perjalanannya, dia memutuskan untuk istirahat di temapt peribadatan.
Di sana, Jaka berdoa agar segera menmukan cinta sejatinya. Ini pertama kalinya
Jaka beribadah dengan sungguh-sungguh berdoa pun juga dengan sungguh-sungguh.
Hingga tanpa sadar dia tertidur lelap. Pagi harinya, Jaka dibangunkan oleh
petugas pengelola tempat peribadatan. Jaka sempat berbincang-bincang dengan
petugas pengelola tempat peribadatan tersebut. Jaka menceritakan perjalanan
pencarian cintanya. Si petugas pengelola tempat peribadatan pun mengenalkan
Jaka pada seorang gadis manis yang sering beribadah di tempat peribadatan
tersebut, nama gadis itu Yasa. Yasa sangat dewasa, sikapnya yang keibu-ibuan
membuat Jaka nyaman bersama Yasa. Namun, kali ini Jaka tak ingin terburu-buru
mengutarakan maksudnya pada Yasa. Jaka ingin mencari waktu yang benar-benar
tepat.
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa Jaka
telah menjalin hubungan dengan Yasa selama satu tahun. Saat inilah, waktu yang
tepat menurut Jaka untuk mengutarakan maksudnya kepada Yasa. Saat Jaka
menghampiri Yasa untuk mengutarakan maksudnya, saat itu pula Yasa memberi
sebuah kertas dengan rangkaian bunga dipinggirnya. Yasa memberikan undangan
pernikahannya terlebiha dahulu sebelum Jaka mengutarakan maksud yang selama ini
dia simpan. Sekali lagi, hati Jaka hancur berkeping-keping. Jaka ingin berlari
sekencang-kencangnya menjauh dari Yasa.
Di
tengah pelariannya, Jaka mencoba mengintrospeksi diri, kesalahan-kesalahan
apakah yang telah dia lakukan. Hingga cintanya selalu kandas di tengah jalan. Di
akhir perenungannya, Jaka menyimpulkan bahwa dia perlu lebih agresif lagi untuk
mendapatkan cintanya. Jaka mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya yang sempat
hancur. Dia mengobati hatinya yang terlampau sering dikecewakan. Agar tetap
terus memperjuangkan cintanya.
Kini,
hati Jaka mencoba berlabuh di rumah makan. Di sana, dia bertemu dengan
perempuan pengusaha muda, cantik, dan pandai. Di pandangan pertama, Jaka telah
jatuh hati pada perempuan itu, begitu pula perempuan muda itu. Mereka mengawali
perkenalannya dengan menyebutkan nama masing-masing, “Jaka” kata Jaka dengan
melemparkan senyum termanisnya. “Arma” jawab perempuan pengsaha itu dengan hati
berbunga-bunga. Untuk kali ini, Jaka yang bermaksud ingin lebih agresif justru
merasa tidak perlu seagresif yang dia pikirkan. Karena Arama telah jauh lebih
agresif mendekatkan dirinya pada Jaka. Sering kali Arma menanyakan soal prospek
usahanya kepada Jaka, mengingat Jaka yang berlatar belakang pendidikan ekonomi.
Sering pula Arma menceritakan privatisasinya kepada Jaka. Jaka pun dengan
senang hati mendengarkan. Hubungan mereka semakin dekat, dan Jaka pun sangat
yakin kali ini dia akan berhasil mendapatkan cintanya. Karena Arma adalah gadis
yang baik, pandai, manis, serta menghargai dan menghormati Jaka.
Tibalah
saat Jaka mengutarakan maksudnya. “Bagaimana menurut mu?” tanya Jaka pada Arma.
“Iya,
kita tingga menunggu waktu. Ngga mungkin juga kan kalau kita menikah tanpa
uang.” tutur Arma dengan lembut.
Jaka
dengan latar belakang yang keras kepala, justru menilai Arma kapitalis,
liberalis, dan tidak sesuai dengan Jaka. Jaka pun meninggalkan Arma
sejauh-jauhnya. Dan Jaka pun tetap berkeyakinan akan adanya habis hitam,
terbitlah putih. Walaupun itu satu di antara sejuata yang ada.
(Gaiety Sabilla Aiska, Universitas
Gadjah Mada, 081227144577)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar