Untuk apa ada silabus?
Bukankah ilmu ini sangat luas?
Dengan adanya silabus secara implisit mengkerdilkan potensi
yang sesungguhnya luar biasa. Di samping itu, masalah mengenai ketidak relevannya sebuah silabus, dinilai tidak efektif dan efisien. Cukuplah kita belajar dan berdiskusi menyesuaikan kondisi disekitar. Tidak jarang pelajar yang belajar tanpa silabus jauh lebih pintar dibanding yang belajar dengan silabus. Di samping itu sering kali silabus menjadi alat bagi pengajar untuk mempermudah diri. Jadi ketika peserta didik diuji baik secara lisan maupun tulis lalu dia gagal menjawab, maka pengajar akan berkata, "Apakah kamu tidak belajar? Bukankah silabus telah saya berikan?" Pengetik sangat geram dengan pancingan klasik seperti pengajar tersebut. Bukankah seorang anak yang jujur bahwa dia tidak mengetahui jawaban lebih baik, dibanding seorang anak yang tahu jawaban namun plagiat. Ketika anak berkata jujur, bahwa dia tidak mengetahui bukan berarti dia bodoh, namun kitalah yang bodoh karena tidak mampu mengajarnya. Justru dengan kejujurannya, maka kita tahu harus memperlakukannya seperti apa. Jadi mari kita katakan, "Tidak tahu" ketika kita belum mempelajarinya dan baru mendengar sesuatu tersebut. Karena ini jauh lebih baik. Ya, kita perlu alat pendeteksi kebohongan yang tahan kejutan, dan kokoh sebagai alat dasar dalam upaya mereka unuk mempertahankan kehidupan.
Untuk apa ada standart nilai minimum?
Bukankah nilai rendah dan tinggi sangat kompleks?
Dengan adanya standart nilai minimum, berimplikasi pada
tidak tergalinya bakat hingga mendalam, dikarenakan terlalu fokusnya mengejar
standart nilai minimum pada seluruh bidang.
Dari kesemua benturan di atas, yang lebih mendasar ialah bahasa
. . Untuk apa adanya bahasa?
Dapat ditilik juga mengenai oposisi binner, adanya
baik-buruk, tinggi-rendah, pandai-bodoh, cantik-buruk, hitam-putih. Bukankah
ini oversimplification? Yang sejatinya sangat komprehensif dan realitasnya
sangat kompleks?
Bahkan sering kali orang dikatakan bijak, justru ketika ia
memaparkan dan menggunakan kaidah relativitas.
Mungkin karena mereka mampu menciptakan dan mendukung
sebuah utopia, bukanlah 'kebiasaan-kebiasaan konvensional.'
Namun, yang menjadi pertanyaan apakah benar dengan pola pikir
diatas semua hal dapat berjalan lebih baik? Pengetik mengamini, bahwa orang
yang berjiwa kecillah yang sulit untuk menjalaninya. Dan pastilah
wajib hukumnya mereka menggunakan 'kebiasaan-kebiasaan standart' di atas.
Postman Neil dan Weingartner Charles, 2001, Mengajar Sebagai Aktivitas Subversif, Yogyakarta, Jendela Grafika.
Postman Neil dan Weingartner Charles, 2001, Mengajar Sebagai Aktivitas Subversif, Yogyakarta, Jendela Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar