Selasa, 13 Mei 2014

Sederhana (Berusaha mengarang ini tanpa takabur di hati)


Terdiri dari sembilan huruf. S.. E.. D.. E.. R.. H.. A.. N.. A..
Hemm, mungkin aku sedang merindukan sosoknya. Yang mampu menerima keadaan apa adanya.. Tujuannya tak lebih karena ia tak ingin merepotkan sekitarnya. Salah satunya tentang kosnya. Pernah dia berkata, "Besok kalau kau butuh sesuatu datanglah kemari, aku akan selalu ada di sini.." Berikutnya ku tanya kembali, "Heyy, kos mu tidak begitu nyaman.. Lembab, gelap, tak ada sedikit pun kenyamanan.. Mengapa kau tak pindah saja?" Dia pun menjawab, "Tidak, aku nyaman dengan semua ini.. Aku bahagia.. Aku akan setia di sini.." Kemudian aku menyangga lagi, "Tunggu-tunggu apakah karena keterbatasan ekonomi?" Dia kembali menjawab, "Yah, itu sebagian kecil faktor penyebabnya"
Seperti biasa, aku mengakhiri obrolan dengan lamunan..........................................
Apa jadinya jika dia memiliki hasrat besar untuk menghuni kosan yang lebih mewah yang mampu membuatnya betah berlama-lama di kosan?
Mungkin dia akan merengek pada Ibunya untuk meminta tambahan kiriman uang bulanan.. Sementara si Ibu tak memiliki pendapatan tambahan.. Bisa jadi dia akan melakukan tindakan kriminal, entah itu menipu, korupsi kecil-kecilan, dan bahkan pungli pun bisa diajalani.. Duh.. Duh.. Seperti itulah jika ada manusia yang tak bersyukur..
Dari lamunan ku, terciptalah sebuah penilaian, betapa dangkalnya pemikiran ku.. Dan sungguh aku tak bijaksana hanya menilai fisik tapi yang di dalam, yang tak kelihatan tak sedikit pun aku perhatikan.
Satu lagi yang membuat ku tertegun ketika bersamanya. Ketika kita mendaki bersama, betapa perfeksionisnya aku membawa peralatan dan perlengkapan. Hal ini sangat kontras dengan dia yang hanya menggunaan tas selempang dan sandal jepit. Aku mengkhawatirkannya. Hingga aku berusaha meyakinkannya, "Kamu serius mau mendaki pakai sandal jepit?" "Iya, emang kenapa?" Balasnya. Dalam hati aku hanya bisa mendoakan semoga dia baik-baik saja. Di pertengahan cerita, aku yang perfeksionis terserang musibah, kaki ku lecet. Jalan ku menjadi pincang. "Nih, pakai aja sandal ku" Tawarannya, sambil menyodorkan sandal pada ku. Bagai semut di seberang danau nampak, namun gajah di pelupuk mata tak tampak. Kesalahan orang saja aku kritik abis-abisan bahkan sampai sempat aku merendahkan, namun kenyataanya kekurangan dan kelemahan ku sendiri tak mampu aku atasi sendiri malah aku yang merepotkan yang aku rendahkan. Dan dia yang aku nilai rendah, bukan dia yang aku nilai tinggilah yang menolong ku. 
Kemudian aku balik bertanya, "Tukeran sama sepatu ku? Sepatu ku kan kecil, pasti ngga muat buat kamu.. Terus kamu pakai apa?" Tanpa membalas pertanyaanku, dia hanya melanjutkan jalannya sambil membawa sepatu yang membuat ku terluka.
Yang perlu digaris-bawahi dari mengarang indah ini adalah satu orang dengan orang yang lain itu berbeda antara kemampuan dan kekurangannya, jangan mudah menilai orang dari luarnya saja dengan standart normatif, akan lebih bijak bila kita telisik dalamnya dulu berusaha memahami duduk permasalahannya barulah kita bantu memberikan solusi.
Oooooh aku merindukan sosok sederhana mu. Sosok yang kini aku cintai stylenya (sandal jepit_tas slempang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar