Baiklah alam malam, di momenmu kali ini, aku ingin berkisah seorang bayi prematur, bayi yang lahir pada tanggal 25 Januari 1996. Saat itu aku berumur 4 tahun dan menunggu di depan sebuah ruang tempat Mama berbaring. Mungkin karena aku telampau pendiam, hingga beberapa jam berselang, aku tetap tak tahu apa yang ku tunggu dan ku nanti. Hingga Papa berujar, "Nanti kalau adeknya udah lahir disayang ya..." Aku hanya membalasnya dengan senyum. Dari sini aku tersadar, bahwa yang ku nanti adalah kehadiran seseorang yang harus aku sayangi yaitu adek. Ya, aku bersabar menanti dan menghibur diri hingga senyum-senyum sendiri. Aku melihat Papa yang begitu sibuk mengurus kesana-kemari. Hingga datanglah sebuah kubus kaca yang beroda. Ouh, ini yang aku nanti. Sebuah bayi berkulit hitam nan mungil. Beberapa hari kemudian aku hanya bermain di rumah bersama Kakak-Kakakku, dan tibalah Papa-Mama menggendong bayi hitam nan mungil itu. Lalu kami bersikut-sikutan untuk melihat adek kecil. "Mau kasih nama siapa ya?" Tanya Papa. Aku lupa beberapa skenario hingga munculah nama Gitta Sabilla Aiska. Ya, yang maknanya gadis yang manis. Di usia ku yang beranjak ke-5 tahun aku harus berpisah dengannya untuk tinggal bersama eyang. Dan setelah satu tahun, Mama-Papa menjengukku bersama Kakak dan adek, adek sudah bisa merangkak dan berceloteh ngga jelas. Satu hal yang aku sebal di fase ini, adek begitu dekat dengan Mama, hingga 1 cm terpisah dari Mama, dia akan menangis histeris. Adegan mengenaskan pertama ketika Mama ingin ke toilet tapi adek masih nempel sama Mama, lalu Mama menitipkan adek ke aku, awalnya adek tenang bermain bersamaku tapi saat tersadar Mama tidak ada di sampingnya, mulailah wajahnya memerah dan menangis histeris. Spontan aku menenangkannya tapi karena aku kurang lihai, adikku sempat terjeduk lantai karena dia belum bisa berdiri tegap dan tangisnya pun semakin menggelegar. Serasa ingin ambil pisau dan menusuk-nusukan ke seluruh tubuhku sebagai hukuman akan kelalaianku menjaga adek.
Lalu di usaiku yang beranjak ke-6 tahun, Mama-Papa menjengukku lagi, dan adek sudah dapat berjalan. Kami sering bermain di simpang lima, mengingat adek yang sudah dapat berjalan dan berlari. Seneng banget deh.. Tapi menyusul tragedi koper. Saat malam dan hujan datang, aku ingin mengantar Papa mengantar koper berisi baju ke eyang, tapi adek yang telah mampu berjalan menyusul kami dan mengitari kami yang telah naik motor, karena saat itu hujan adek terpeleset dan tiba-tiba koper besar dan berat yang berada di atas motor, tepatnya di depan Papa terjatuh menimpa adek, adek yang manis menangis histeris. Yah, aku hanya terdiam, menyendiri ke sudut rumah eyang dan menangis.(betapa bodohnya aku) Bukankah seharusnya aku mengurus adekku agar tidak mengikutiku.
Beberapa bulan kemudian, Papa-Mama menjengukku lagi namun kini misi mereka adalah ingin menitipkan adek ke eyang pula, melihat adekku yang meronta tidak mau dan menangis histeris, aku memahaminya, karena hidup di sini memang keras tak senyaman tinggal bersama Mama-Papa. Dan aku berusaha unuk menemani adek selalu.
Kami semakin besar dan aktif. Di usiaku ke-7 tahun, aku telah mampu menaiki sepeda dan memboncengi orang. Aku sering bersepeda sendiri mengelilingi kampung atau berpetualang dengan Kakak dan teman-teman kampung. Dan suatu hari, si adek manis merengek untuk ikut berpetualang mencari buah talok/kersen. Namun karena sepedanya kurang dan tidak ada tempat boncengan, Kakak yang memilih jalan aman dan praktis menolaknya dan menyuruhnya tetap di rumah. Tapi aku yang ingin mengajaknya untuk ikut merasakan betapa bahagianya berpetualang, memaksakan diri untuk memboncenginya di depan sepeda. Yah, inilah awal tragedi ketiga, awal menaiki sepeda aku telah keberatan karena adek manis memang lebih gendut dari aku, lalu saat menyeberangi jalan tiba-tiba ada sepeda motor lewat dan aku tidak dapat mengerem dan masuklah kami kedalam got dengan posisi adek masuk got paling bawah tertimpa sepeda lalu aku paling atas. Tak ada sedikitpun luka di tubuhku tapi adek luka di beberapa tempat, dan aku masih bersyukur dia masih hidup. Dan luka itu membekas hingga remaja kini. Kembali aku hanya terdiam dan berpikir untuk tidak menangis tapi bagaimana memperbaikinya. Untuk membalasnya setiap ada kompetisi di kampung aku mendaftarkan adek dan menyemangatinya agar menjadi juara. Yah, adek sering mendapat juara di perlombaan 17 Agustus.
Hari demi hari berlalu, aku beranjak remaja dan aktif dibeberapa tempat, teringat waktuku bersama adek yang tersita, dan aku memutuskan untuk mengajaknya ikut beraktivitas mengikuti beberapa kegiatanku, agar ia dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalanku. Ku ajak adek ikut karate dan rohis. Alhamdulillah, dia dapat mengikutinya dan mendapat beberapa prestasi.
Tapi sempat terjadi tragedi keempat saat adek telah menjuarai karate dan harus mengikuti latihan intensif untuk menghadapi kompetisi ditingkat selanjutnya, saat menuju kegelanggang aku yang diboncenginya menyuruhnya untuk ngebut, karena ada motor didepan yang belok mendadak, adek menabrak dan jatuh, Alhamdulillah hanya luka ringan di kaki. Sepertinya aku tak patut menjadi Kakakmu.
Dan kini aku telah dewasa, kau terluka lebih parah, sebelum malam itu, sore aku masih dapat tersenyum walau ada desir-desir rasa tak nyaman. Tapi terlambat, seharusnya aku menemani mu di rumah dan menggantikanmu untuk membeli kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar