Mungkin judul di atas perlu di perhatikan secara mendalam bagi tiap-tiap individu yang hidup dalam dunia sosial. Agar kehidupan ini berjalan dengan harmonis, meskipun pada kenyataannyan sulit untuk menghindari sebuah konflik. Seperti yang dikatakan oleh Goerge Simmel , bahwa konflik terjadi karena adanya proses penyesuaian antara komponen-komponen sosial yang nantinya diharapkan tercipta sebuah keteraturan maka konflik pun akan terys terjadi. Namun mulialah kita bila dapat meminimalkan konflik.
Status dan peran memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban. Sebab bila seseorang tidak mengetahui status dan peran maka dia tidak mengetahui kewajibannya. Sedangkan kewajiban sendiri merupakan hak orang lain yang wajib kita penuhi. Bila tidak terpenuhi, kemungkinan konflik akan terjadi.
Status dan peran bak dua sisi uang koin. Mereka tak dapat dipisahkan. Bila seseorang memiliki status maka dia akan memilki peran yang berkaitan dengan statusnya. Peran yang dia miliki merupakan kewajiban bagi dia. Status sendiri memiliki arti posisi seseorang dalam masyarakat. Sedangkan peran adalah pola tindakan atau perilaku dari orang yang memilki status tersebut.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat kita ambil contoh kasus di kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari hal yang terdekat dari kita, yakni status sebagai orang tua. Di zaman modern ini banyak orang tua yang lebih mementingkan karirnya dan lupa dengan anaknya. Mungkin sebagai orang tua yang perekonomiannya menengah keatas, mereka dapat menitipkan anak mereka pada sebuah lembaga pendidikan. Namun apakah iya seorang anak ini akan tumbuh dengan sempurna tanpa bimbingn Ayah dan Ibu mereka? Dari hasil pengamatan, sering kali para orang tua karir tak tahu mengenai kondisi anak mereka. Entah dia telah dapat pengetahuan apa? Atau dia mendapat teman siapa? Atau dia sedang sedih/senang? Mereka sering lupa mengenai hal tersebut. Yang mereka tahu hanya tuntutan mereka kepada putra dan putrinya agar menjadi orang sukses. Sedangkan sang anak sendiri juga tidak mengetahui mengenai orang tua mereka, Mereka hanya mengetahui orang tuanya mencari uang berangkat kerja pagi-pulang malam. Sedangkan jangka waktu bertemu dengan anak hanya sekitar 5 jam. Namun waktu tersebut masih dipotong untuk waktu belajar anaknya. Bukankah ini sangat naïf? Bagaimana bila ternyata sang anak salah pergaulan namun dia tidak bercerita kepada orang tua? Sedangkan pihak lembaga pendidikan sendiri tidak dapat memantau sang anak secara keseluruhan.
Sama halnya dengan orang tua yang tingkat perekonomiannya menengah ke bawah. Terkadang mereka lupa dengan kondisi ekonominya dan memproduksi anak terlalu banyak. Hingga anak mereka yang lahir lebih awal harus ikut menanggung beban keluarga. Dan tak jarang mereka disiksa orang tua kandung mereka sendiri bila terdapat kesalahan dalam merawat adik mereka. Adilkah ini?
Mari kita analisis kasus diatas dengan teori konflik di mana terdapat dua kepentingan yang saling bertolak belakang antara anak dan orang tua. Mungkin dampak dari konflik tersebut tidak secara ekplisit nampak namun secara implicit. Misalnya pada kejiwaan anak.
Orang tua merupakan sebuah status yang memiliki peran dalam institusi keluarga. Peran tersebut tak jauh berbeda dengan fungsi sebuah keluarga. Yakni, peran afeksi di mana mereka berkewajiban memberikan kasih-sayang kepada anak. Yang kedua peran ekonomi yang merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan nafkah dan memenuhi kebutuhan sang anak. Ketiga peran tempat bersosialisasi. Yang keempat berperan melindungi.
Peran-peran tersebut sulit kita temukan dalam kasus di atas. Untuk evaluasi di mohon agar para orang tua memahami dan menghindari hal-hal negatif di atas. Karena generasi bangsa yang tangguh dan bersahaja tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa campur tangan dari orang tua yang arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar